Di Balik Tren Positif Tax Ratio Q1 2025, Kaisar KKSP: Tantangan Besar Masih Membayangi

Hasil paparan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan tren positif dalam pertumbuhan rasio pajak (tax ratio) pada Kuartal I (Q1) 2025. Namun di balik capaian tersebut, Kaisar Kiasa Kasih Said Putra menyoroti bahwa tax ratio justru mengalami penurunan dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya dari 9,77% pada Q1-2024 menjadi hanya 7,95% pada Q1-2025.  

Sebagaimana diketahui, penerimaan pajak merupakan tulang punggung utama pembiayaan APBN. Oleh karena itu, kinerja sektor ini sangat krusial dalam menjaga kesinambungan fiskal negara. “Seharusnya dengan adanya penerapan system core tax di tahun 2025 jika berlandaskan pemaparan teori, tax ratio kita bisa mengalami peningkatan yang signifikan namun realitanya, dengan system yang masih banyak mengalami kendala tax ratio kita tampak masih berjalan ditempat,” jelas Kaisar KKPS dalam keterangnnya, Kamis (8/5/2025).

Hingga 31 Maret 2025, data yang disampaikan DJP kinerja APBN menunjukkan dinamika yang cukup positif. Total pendapatan negara tercatat sebesar 516,1 triliun, atau 17,2% dari target dalam APBN 2025. Kontribusi terbesar berasal dari sektor perpajakan dengan realisasi 322,6 triliun (14,7% dari target), diikuti oleh kepabeanan dan cukai sebesar 77,5 triliun (25,7%), serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 115,9 triliun (22,6%).

Di sisi belanja, total realisasi hingga akhir Q1 mencapai 620,3 triliun, atau 17,1% dari alokasi anggaran. Belanja ini terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sebesar 413,2 triliun dan Transfer ke Daerah sebesar 207,1 triliun. Dengan belanja yang lebih tinggi dibanding pendapatan, APBN mencatat defisit sebesar 104,2 triliun (sekitar 0,43% terhadap estimasi PDB). Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah telah melakukan pembiayaan anggaran sebesar 250 triliun, atau 40,6% dari target pembiayaan tahun ini.

Tantangan Perpajakan Nasional

Dari pemaparan DJP terdapat catatan penting mengenai posisi tax ratio Indonesia. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB Indonesia saat ini masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara ASEAN maupun G20, yang rata-rata mereka berada di kisaran 12% hingga 25%. Kondisi ini mengindikasikan adanya tantangan struktural dalam memperkuat basis perpajakan nasional.

Terlebih pemaparan terkait defisit yang terjadi terpaut jauh dari target pemerintah, meskipun defisit yang terjadi di Q1 ini masih sesuai dengan prediksi dan diklaim tidak menimbulkan kekhawatiran, ada baiknya pemerintahan era Prabowo meningkatkan ke-waspada dan segera menghadirkan berbagai solusi konkret yang terukur.

“Mengingat situasi global yang tidak menentu akibat dari perang tarif Amerika Serikat dengan Tiongkok, angka pengangguran yang masih tinggi, hingga terjadinya gelombang PHK yang sedang dialami bangsa kita,” jelasnya.

Di tengah berbagai tekanan ekonomi global dan gejolak domestik, Kaisar mengingatkan menjadi perhatian bahwa tekanan terhadap kelompok menengah-bawah dapat berdampak negatif pada kinerja penerimaan pajak di Q2, Q3, hingga Q4 yang jika tidak diantisipasi, dapat memicu stagnasi atau penurunan tren penerimaan.

“Meskipun saya berharap ini tidak terjadi. Dalam teori ekonomi publik (Musgrave & Musgrave), tax ratio mencerminkan kapasitas pemerintah dalam memobilisasi sumber daya domestik tanpa bergantung pada utang,” jelasnya.

Tax ratio yang rendah biasanya disebabkan oleh:

  • Rendahnya tingkat kepatuhan pajak,
  • Dominasi sektor informal yang belum tercakup sistem perpajakan,
  • Ketergantungan fiskal pada penerimaan tidak berulang (misalnya dari sumber daya alam),
  • Kebocoran dalam sistem administrasi perpajakan.

Langkah Konkret untuk Tingkatkan Tax Ratio

Untuk meningkatkan tax ratio, yang hari ini dalam kondisi defisit dibutuhkan agenda konkret secara menyeluruh. Beberapa poin utama meliputi Modernisasi teknologi, seperti implementasi core tax, penyederhanaan prosedur layanan, peningkatan kualitas SDM DJP ditenggah efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat saat ini, pengawasan berbasis data, dan penegakan hukum digital, serta perlu adanya integrasi data antar-lembaga sebagai tindakan prefentive mencari solusi praktis untuk menutup defisit serta meningkatnya serapan pajak.

“Keterkaitannya dengan system core tax yang saat ini sedang proses fixing system, harapan saya ini harus diselesaikan dengan segera agar nantinya kita bisa mengevaluasi secara objektif apakah proyek dengan anggaran besar yang digelontorkan pemerintah mampu memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan pajak kita,” jelas Kaisar KKSP.

Selain itu, peningkatan kepatuhan Masyarakat terhadap pajak menjadi agenda yang tak kalah penting. Edukasi fiskal berbasis literasi publik perlu diperluas dengan dukungan sistem digital yang menjangkau seluruh elemen masyarakat, termasuk UMKM. Pemberian insentif kepada wajib pajak patuh serta penegakan hukum terhadap yang lalai perlu diterapkan secara adil dan tegas.

Di luar aspek mikro, faktor makro seperti stabilitas ekonomi, politik, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) juga menjadi kunci keberhasilan reformasi perpajakan.

“Menjadi harapan kita bersama disaat tercapainya stabilitas ekonomi, politik, dan terwujudnya good governance nantinya dapat menstimulus investasi padat karya yang pada gilirannya meningkatkan basis pajak nasional,” jelasnya.

Peningkatan tax ratio adalah langkah fundamental menuju kemandirian fiskal. Kerja keras DJP layak diapresiasi, namun tantangan besar masih terbentang di pelupuk mata. Tax ratio bukan sekadar angka statistik, melainkan refleksi dari kemampuan negara “berdikari dalam bidang ekonomi” artinya mampu membiayai pembangunan secara mandiri, dan berkelanjutan. Kami di Komisi XI DPR RI berkomitmen akan terus mengawal proses reformasi perpajakan agar tetap konsisten, adil, dan berpihak pada rakyat.

Sumber : liputan6.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only