DJP Kini Menarik Pajak dari Instrumen Keuangan

Mengukut potensi penerimaan pajak dari pengenaan pajak terhadap emas dan kripto

Pemerintah terus berupaya menggenjot pendapatan pajak penghasilan (PPh). Salah satu caranya, pemerintah menerbitkan aturan pajak atas kripto dan bisnis bullion, yang akan berlaku mulai hari ini (1/8).

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memaparkan, PPh final atas transaksi aset kripto resmi naik jadi 0,21% dari sebelumnya 0,1% hingga 0,2%. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 50 tahun 2025.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkap- kan, kenaikan tarif ini mengompensasi pajak pertambahan nilai (PPN) yang tak lagi dikenakan pada aset kripto. Aset kripto kini sama seperti aset surat berharga, sehingga tidak dikenai PPN.

Bimo menyebut, perubahan aturan ini didasarkan pada perubahan karakter aset kripto dari semula komoditas menjadi aset keuangan digital. “Maka konsekuensinya lembaga yang mengawasinya beralih dari Bappebti di Kementerian Perdagangan ke Otoritas Jasa Keuangan,” kata dia. Melalui beleid ini, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang berada di luar negeri juga dapat memungut PPh 22. Namun PMSE pedagang kripto luar negeri harus memenuhi kriteria seperti transaksi telah dilakukan dalam 12 bulan.

Kemudian, jumlah trafik atau pengakses harus melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan. Namun, besaran tarif PPh 22 PMSE luar negeri lebih tinggi, yakni 1%.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal sangat berharap penerimaan pajak kripto akan menopang pendapatan pajak. Dia mencontohkan, pada 2024 penerimaan pajak kripto mencapai Rp 500 juta-Rp 600 juta. “Sekarang PPh-nya saja 0,21%, mudah-mudahan tidak terjadi pergerakan,” kata Yon.

Pajak bullion

Selain pajak kripto, pemerintah menyederhanakan aturan pajak atas usaha bulion. Aturan tersebut tertuang dalam PMK Nomor 51 Tahun 2025 dan PMK Nomor 52 Tahun 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli memaparkan, aturan ini dibuat karena ketentuan pemungutan usaha bullion sebelumnya tumpang tindih. Contoh, penjual emas dipungut PPh 22 sebesar 0,25% atas penjualan ke lembaga jasa keuangan (LJK) bullion.

Di sisi lain, LJK bullion sebagai pembeli juga terkena PPh 22 sebesar 1,5% atas pembelian yang sama. Dengan ketentuan baru ini, maka LJK bullion hanya kena pajak 0,25% atas pembelian emas batangan.

PMK ini juga mengatur penjualan emas oleh konsumen akhir kepada LJK Bulion maksimal Rp 10 juta dikecualikan dari pemungutan PPh 22. Tapi, transaksi di atas itu tetap dikenakan pajak 0,25%.

PMK 52 Tahun 2025 juga mengatur kegiatan usaha bulion dalam bentuk perdagangan (bullion trading). Beleid ini akan membebaskan pajak pada konsumen akhir, wajib pajak UMKM dengan PPh final, wajib pajak yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 22, Bank Indonesia dan pasar fisik emas digital.

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai, kebijakan tersebut berpotensi mendorong penerimaan pajak negara. Dia memaparkan, menilik data World Gold Council dan Antam, rata-rata permintaan emas batangan di Indonesia mencapai 60 ton per tahun pada 2024.

Dengan estimasi harga emas 2025 di Rp 1 juta per gram, maka potensi basis transaksi bullion bank akan meningkat 30%. Bahkan, jika penetrasi bullion bank lebih agresif dan semua beralih ke jalur resmi,maka potensi penerimaannya naik 50%.

Pengamat Pajak CITA Fajry Akbar melihat pengenaan pajak kripto tidak akan mendorong penerimaan secara signifikan. Dari hitungannya, potensi penerimaan pajak kripto cuma Rp 1,01 triliun. Namun, Fajry menilai aturan ini perlu agar kripto mendapatkan perlakuan sama dengan instrumen keuangan lainnya.

Sumber : Harian Kontan, Jumat 1 Agustus 2025 (Hal. 2)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only