Menjawab Tantangan Administrasi Pajak di Era Ekonomi Digital

REFORMASI perpajakan Ditjen Pajak (DJP) telah memasuki jilid III, lebih dari 40 tahun sejak awal pembaruan perundang-undangan pajak nasional. Salah satu pilar utamanya adalah penguatan teknologi informasi (TI) dan basis data, yang menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ekonomi digital. Di tengah ledakan transaksi lintas platform, sistem perpajakan dituntut untuk modern, adil dan adaptif. 

Platform global bebas menjangkau pasar domestik, sementara pelaku lokal menghadapi sistem administrasi dan kepatuhan yang kian kompleks. Maka, reformasi perpajakan harus menjawab ketimpangan ini dengan sistem yang inklusif, efisien, dan adil bagi semua pelaku usaha.

Dalam proses reformasi ini, DJP telah membangun berbagai sistem teknologi seperti Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (Sismiop), Sistem Informasi DJP (SIDJP), DJP-Online, hingga terakhir yang dikenal dengan Coretax, dalam rangka mendukung pelayanan dan pengawasan administrasi perpajakan. Tujuannya untuk penyederhanaan layanan dan kenyamanan pelayanan kepada Wajib Pajak (WP) di era digital. Termasuk untuk WP yang bergerak dalam ekosistem Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik kelompok UMKM maupun non-UMKM.

Transaksi PMSE lintas batas terjadi setiap detik, mulai dari langganan streaming hingga belanja daring dari platform global. Namun, lonjakan ini belum sebanding dengan penerimaan negara. Per Maret 2025, total PPN  yang dikumpulkan dari pelaku PMSE mencapai Rp27,48 triliun dibanding total PPN dari berbagai lini usaha digital sebesar Rp34,91 triliun. Nilai itu tampak besar, tetapi belum mencerminkan potensi riil ekonomi digital nasional. Mengutip laporan Mandiri Institut nilai transaksi e-commerce Indonesia meningkat pesat dari 2017 hingga 2024 menjadi Rp487 triliun. Peluncuran ketentuan terbaru tentang PMSE sebagaimana PMK nomor 37/tahun 2025, merupakan salah satu jawaban strategis melihat potensi yang ada.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyampaikan optimalisasi penerimaan negara juga akan ditopang oleh kebijakan administrasi yang mengandalkan analisis data digital. Salah satu bentuk pengawasan untuk menggali potensi akan dilakukan melalui analisis data ataupun media sosial. Untuk itulah, sistem administrasi pajak perlu terus diperbarui agar mampu menjawab kompleksitas pemajakan di era digital.

Administrasi terkini

Administrasi perpajakan DJP telah memasuki era digital yang dikenal sebagai Administrasi Perpajakan 3.0. Peningkatan layanan bagi wajib pajak dilakukan dengan
mekanisme seperti e-filing, e-payment, dan perangkat swalayan daring. Deteksi kemungkinan ketidakpatuhan dilakukan melalui pemodelan penilaian risiko (Compliance Risk Management- CRM). Administrasi tersebut merupakan ciri-ciri administrasi perpajakan digital yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan serta mengurangi beban administrasi WP. Model e-administrasi perpajakan saat ini masih sangat bergantung pada kepatuhan sukarela untuk sebagian besar basis pajak. Dengan kepatuhan sukarela dimaksudkan, wajib pajak membuat pilihan terkait pelaporan, penghitungan, dan pembayaran pajak.

Pilihan ini bukan hanya tentang apakah akan mematuhi atau tidak, tetapi juga mencakup pilihan terkait upaya yang dilakukan untuk melakukan hal yang benar, seperti pencatatan, pengambilan keputusan, dan sebagainya. Pengisian e-formulir dengan benar, mengatasi kekurangan pemahaman, dan memenuhi persyaratan serta tenggat waktu pelaporan, masih menjadi tantangan bagi WP. Kompleksitas dan ketelitian pada beberapa proses perpajakan menyebabkan demotivasi dalam pelaporan dan perhitungan, serta beban administratif yang signifikan.

Tantangan masa depan

Menjawab tentangan masa depan digitalisasi administrasi pajak dapat difokuskan pada: kesiapan staf, budaya digitalisasi, infrastruktur integrasi data, dan keadilan dalam aturan. Tantangan kesiapan staf melibatkan kesiapan dari kurang lebih 44 ribu pegawai DJP. Saat ini sebagian besarnya teralokasikan berdasarkan fungsi-fungsi administrasi seperti pelayanan, pengawasan termasuk pemeriksaan, dan penagihan. Dengan pergerakan administrasi digital, kualifikasi pegawai perlu lebih difokuskan untuk mendukung operasional sistem administrasi digital dan memahami dinamika kegiatan usaha yang cepat berubah.

Penerapan Coretax dari awal 2025, haruslah didukung kompetensi yang memadai dari seluruh pegawai atas operasional sistem. Untuk transformasi digital yang sukses, DJP perlu untuk mengidentifikasi dan memetakan keterampilan dan kemampuan staf masa depan yang akan dibutuhkan di bidang TI dan manajemen usaha. Keterampilan TI yang dibudayakan secara internal di lingkungan pegawai DJP juga harus diimbangi secara eksternal di lingkungan WP. Dengan demikian budaya digitalisasi administrasi akan menjadi suatu keniscayaan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban WP.

Budaya digital saat ini tidak hanya terjadi untuk administrasi pajak, namun juga terjadi pada kegiatan lembaga pemerintah lainnya. Oleh karena itu juga penting pengembangan strategi, komunikasi dan keterlibatan pemerintah untuk mengembangkan keterampilan TI termasuk keterampilan kecerdasan buatan (Artificial Inteligence/AI) secara nasional.

Tantangan budaya digitalisasi yang meluas menuntut kesiapan baru. Di saat bersamaan, infrastruktur dan manajemen data harus mampu mendukung proses ini. Infrastruktur teknologi yang kuat tentu membutuhkan koordinasi berbagai pihak di lingkungan pemerintah maupun swasta. Misalnya penyatuan identitas tunggal, Nomor Identitas Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) melibatkan koordinasi lintas bagian di pemerintahan.

Pengembangan identitas tunggal tersebut juga perlu dikembangkan bersama instansi pemerintah lainnya. Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2025 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, merupakan salah satu contoh legalisasi pengembangan teknologi blockchain sebagai bagian dari infrastruktur digital nasional. Di lingkungan Kementerian Keuangan terus melanjutkan transformasi sistem administrasi fiskal. Komitmen ini ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani, pertukaran data antar unit di Kemenkeu ke depannya akan dilakukan secara otomatis.

Langkah ini ditujukan untuk; menciptakan kepastian hukum perpajakan, menjamin perlakuan yang adil bagi wajib pajak dan meningkatkan kualitas layanan fiskal berbasis data. Tantangan besar ekosistem digital perekonomian digital di atas memunculkan kekhawatiran tentang keamanan, privasi data dan kekhawatiran penggunaan informasi secara lebih luas di luar tujuan perpajakan.

Oleh karena itu pembangunan administrasi perpajakan harus mengedepankan kepercayaan dan transparansi WP terhadap sistem administrasi yang dibangun DJP. Hal ini membutuhkan manajemen perubahan yang cermat untuk memastikan infrastruktur TI serta kapabilitas staf dapat beradaptasi dengan pendekatan baru yang lancar, serta pendekatan menyeluruh dari pemerintah untuk memperkuat kepercayaan.

Pajak digital untuk transaksi ekonomi melalui platform e-dagang, merupakan contoh konkret reformasi pajak menjawab tantangan di era digital. Dimulai dengan penunjukan penyedia platform sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan terbaru sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 bagi pedagang yang menggunakan platform e-dagang tersebut. Ketentuan tersebut akan mendorong keterbukaan informasi omzet WP yang dikelola oleh penyedia platform. Informasi yang diperoleh DJP dalam mekanisme ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawasan kepatuhan WP. Digitalisasi ini menawarkan peluang kritis untuk meningkatkan kepatuhan, mengurangi beban administratif, dan mengatasi penghindaran pajak.

Di samping itu, strategi kepatuhan berbasis data menggunakan analitik lanjutan dan AI dapat menargetkan audit dengan lebih baik dan mengurangi kesenjangan pajak. Pengawasan transaksi ekonomi lintas batas melalui e-dagang memberikan implikasi tantangan keadilan pada ketentuan transaksi lintas batas. Pemanfaatan perusahaan kendali, penentuan harga transfer dan penyaluran modal hutang merupakan contoh yang perlu diawasi dalam praktiknya.

Oleh karena itu, penguatan ketentuan perpajakan yang adil akan memberikan kepastian hukum sehingga mendorong peningkatan kepatuhan. Termasuk dalam ketentuan di sini adalah kerja sama profesi konsultan yang berintegritas, penting sebagai pendamping WP dalam memahami dampak perpajakan digital.

Harapan

Percepatan integrasi data akan mendorong keterpaduan pengelolaan penerimaan negara, memperkuat akuntabilitas, serta membangun kepercayaan terhadap sistem
perpajakan nasional. Modernisasi sistem administrasi digital untuk sistem penerimaan negara bukan hanya sekedar pembaharuan sistem, melainkan untuk memberikan
peningkatan transparansi, kemudahan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan.

Pemetaan kapabilitas pegawai, dukungan pemahaman WP, infrastruktur yang andal dan ketentuan yang adil sebagai kepastian hukum merupakan faktor-faktor penting untuk sistem penerimaan negara dalam era ekonomi digital. Di tengah ketidakpastian global dan ketimpangan digital, masyarakat membutuhkan kepastian fiskal yang berpihak dan tidak membingungkan.

Menjawab tantangan administrasi pajak di era ekonomi digital bukan sekadar merapikan sistem. Ini tentang membangun fondasi fiskal baru yang mampu menjawab tantangan global, tanpa meninggalkan pelaku lokal. Jika negara ingin memperkuat basis penerimaan, maka desain perpajakan digital harus inklusif, adil, dan berorientasi jangka panjang—bukan hanya efisien, tapi juga berkeadilan bagi semua.

Sumber : metrotvnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only