Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia yang selama ini dilaporkan sekitar 10,2% sebenarnya belum mencerminkan keseluruhan kapasitas penerimaan negara.
Ia menilai, definisi yang digunakan pemerintah cenderung sempit, hanya menghitung penerimaan pajak dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ditambah penerimaan yang bukan cukai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dibagi dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Yon, perhitungan ini berbeda dengan standar OECD yang memasukkan seluruh beban pajak masyarakat ke dalam tax ratio, termasuk pungutan yang tidak memiliki pengembalian langsung.
“Kalau dalam OECD report, seperti PNBP SDA itu juga termasuk dalam kategori perpajakan sebenarnya. Kalau kita namainya misalnya PNBP padahal dia ada pajak karakteristiknya,” kata Yonn dalam diskusi bersama Celios, di kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).
Dengan kata lain, banyak komponen penerimaan negara di Indonesia yang sebenarnya memiliki sifat pajak, namun belum dihitung dalam tax ratio resmi.
Contohnya adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA) dan pajak daerah, yang secara karakteristik di luar negeri dianggap sebagai bagian dari pajak. Di Indonesia, PNBP justru ditempatkan di luar kategori pajak sehingga tidak ikut meningkatkan rasio pajak.
“Sebenarnya, tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatifly sekitar 13-13,5 persen. Rata-rata setiap tahun, antaranya 12-13 persen,” ujarnya.
Empat Komponen yang Perlu Dihitung
Yon menjelaskan, ada empat komponen utama yang seharusnya dimasukkan dalam perhitungan tax ratio agar lebih komprehensif. Pertama adalah penerimaan pajak pusat, yang selama ini sudah dihitung dalam formula resmi. Kedua, PNBP SDA, yang sifatnya seperti pajak karena merupakan pungutan kepada masyarakat tanpa imbalan langsung.
Komponen ketiga adalah pajak daerah, yang setiap tahunnya berkontribusi sekitar 1–1,5% dari PDB. Meski kecil secara persentase, pajak daerah tetap menjadi beban wajib masyarakat dan di negara-negara OECD masuk dalam hitungan tax ratio. Terakhir adalah social security contribution, seperti iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
“Jadi maksud saya adalah, kalau misalkan itu social security-nya, karena kita kan iuran BPJS kita kan relatif kecil. Kalau lihat di negara-negara yang sudah maju, OECD itu ya, kontribusi social security itu bisa 20 persen. Makanya, jangan heran. Kalau lihat berapa tax ratio-nya di Swedia sana? Bisa 40-50 persen,” jelasnya.
Alasan Tax Ratio RI Menurun
Ia juga mengingatkan bahwa penurunan tax ratio dalam beberapa tahun terakhir sebagian disebabkan oleh peralihan kewenangan pajak dari pusat ke daerah.
Contohnya, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sejak 2010 tidak lagi masuk hitungan pajak pusat.
“Jadi, tax ratio katanya kita itu kadang-kadang menjadi mengecil, bukan karena dia kecil, tapi karena ada beberapa jenis pajak yang kemudian dialokasikan ke daerah, menjadi bagiannya daerah,” pungkasnya.
Sumber : Liputan6.com
Leave a Reply