Masih ada sejumlah sumber pajak yang bisa dikaji untuk mengejar penerimaan pajak negara
Upaya pemerintah mengejar penerimaan pajak di paruh kedua tahun ini tak mudah. Selain tingginya nominal setoran yang harus dikejar, kondisi perekonomian global maupun domestik juga masih diliputi ketidakpastian.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 2.189,3 triliun. Dari angka itu, realisasi di semester I baru mencapai Rp 831,27 triliun, setara 37,97% dari target.
Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah menetapkan outlook penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 2.076,9 triliun. Artinya, akan ada shortfall sebesar Rp 112,4 triliun.
Pemerintah pada semester I-2025 gencar menerbitkan sejumlah aturan pajak. Misalnya, penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak, aturan baru pajak kripto serta aturan mengenai pajak emas bullion bank.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal memastikan, tidak ada lagi aturan pajak baru yang signifikan terbit di paruh ke dua tahun ini. “Kami lihat perkembangannya dan evaluasi. Dan bulannya tinggal empat atau lima bulan, sehingga tidak ada regulasi signifikan lagi yang baru-baru akan terbit,” ujar Yon, Selasa (12/8).
Yon menegaskan, pada semester II-2025 ini fokus pemerintah akan diarahkan untuk mengoptimalkan penggalian potensi penerimaan pajak dan memperkuat pengawasan. “Ini menjadi tugas rutin Direktur Jenderal Pajak untuk memastikan target penerimaan bisa realisasikan,” terang dia.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, berbagai kebijakan baru di bidang pajak tersebut tidak akan memberikan lonjakan penerimaan negara secara signifikan. Terutama, kebijakan pajak penghasilan (PPh) terkait kripto maupun pajak emas bullion bank.
“Untuk marketplace sebagai pemungut, potensi penerimaan akan tergantung seberapa banyak merchant yang selama ini belum patuh,” ujar Fajry, belum lama ini.
Menurut Fajry, mekanisme baru penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak hanya mengubah cara pemungutan, bukan menambah beban pajak. Mekanisme tersebut akan membantu menangkap para pelaku usaha yang selama ini belum patuh.
Fajry menilai, target penerimaan pajak 2025 memang terlalu ambisius. Salah satunya bergantung pada kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12%. Tapi, kebijakan ini batal dilakukan. Pemerintah memutuskan PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah saja.
Pajak kekayaan
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) melihat, pemerintah sebenarnya bisa meraup penerimaan pajak dalam jumlah yang fantastis jika menyasar wajib pajak besar. Mulai dari mengenakan pajak progresif kepada korporasi besar maupun segelintir orang super kaya.
Total potensi penerimaan pajaknya mencapai Rp 469 triliun hingga Rp 524 triliun. Ini terdiri dari peninjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran dengan potensi penerimaan Rp 137,4 triliun, pajak kekayaan pada 50 orang terkaya senilai Rp 81,6 triliun dan pajak karbon Rp 76,4 triliun.
Selain itu ada potensi dari pajak produksi batubara Rp 66,5 triliun, pajak windfall profit sektor ekstraktif Rp 50 triliun, serta pajak atas penghilangan keanekaragaman hayati Rp 48,6 triliun. Tambahan penerimaan juga dapat diperoleh dari pajak digital Rp 29,5 triliun, peningkatan tarif pajak warisan Rp 20 triliun, pajak kepemilikan rumah ketiga Rp 4,7 triliun, pajak capital gain Rp 7 triliun, dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan Rp 3,9 triliun.
Meski politis, Peneliti CELIOS Jaya Darmawan menyebut, mendorong penerimaan negara alternatif bisa mengangkat penerimaan negara secara signifikan. Aspek keadilan fiskal juga membaik.

Sumber : Harian Kontan, Rabu 13 Agustus 2025, Hal 2
Leave a Reply