Meningkatkan Tax Ratio: Jangan Sekadar Berburu di Kebun Binatang

“JANGAN terus-menerus berburu di kebun binatang.” Pernyataan singkat dari Prof. Mari Elka Pangestu, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional dan Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan dan Kerjasama Multilateral, mengandung kritik tajam sekaligus refleksi mendalam terhadap sistem perpajakan di Indonesia.

Analogi ini begitu sederhana bahwa berburu di kebun binatang memang lebih mudah, hasilnya cepat terlihat, tetapi jumlah hewan di dalam kandang terbatas. Cepat atau lambat, hasilnya habis.

Begitu pula dengan pajak. Otoritas cenderung mengincar kelompok wajib pajak yang mudah dijangkau seperti pegawai bergaji tetap atau perusahaan besar.

Sementara potensi besar di luar pagar, seperti sektor informal, ekonomi digital, hingga kekayaan individu kelas atas, luput dari perhatian.

Hasilnya, rasio pajak (tax ratio) Indonesia pada tahun 2024 hanya mencapai 10,07 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan tax ratio tahun 2023 yang tercatat sebesar 10,31 persen PDB.

Selama satu dekade terakhir rasio pajak Indonesia hanya di kisaran 10 persen. Selain itu, rasio pajak Indonesia bahkan jauh tertinggal dari rata-rata ASEAN yang sudah di atas 12 persen.

Pada 2022 menunjukkan bahwa rasio pajak negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (12,2 persen), Kamboja (14,7 persen), Thailand (16,7 persen), Filipina (18,4 persen), Vietnam (19,9 persen), dan Timor Leste (19,8 persen).

Sebagai gambaran lainnya, rata-rata rasio pajak 36 negara anggota OECD pada 2022 sebesar 34 persen.

Tulisan ini mencoba membedah mengapa strategi “berburu di kebun binatang” tidak berkelanjutan, apa saja kendala struktural yang membuat tax ratio rendah, dan strategi apa yang bisa ditempuh untuk memperluas basis pajak secara adil dan efektif.

Secara sederhana, rasio pajak adalah perbandingan antara total pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah dengan produk domestik bruto (PDB) suatu negara.

Rasio pajak menjadi indikator penting untuk mengukur sejauh mana suatu negara mampu mengumpulkan pajak dibandingkan dengan total produksi ekonominya.

Rasio pajak tidak hanya menjadi alat pengukur efektivitas perpajakan, tetapi juga mencerminkan kesehatan ekonomi suatu negara.

Tingkat rasio pajak yang stabil atau meningkat dapat mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang sehat, meningkatnya produksi, dan daya beli masyarakat yang tinggi.

Sebaliknya, penurunan tajam dalam rasio pajak mungkin menjadi sinyal peringatan akan ketidakseimbangan atau masalah struktural dalam ekonomi.

Dengan PDB Indonesia tahun 2024 mencapai sekitar Rp 22.139 triliun, setiap kenaikan satu poin tax ratio berarti tambahan penerimaan lebih dari Rp 220 triliun.

Jika rasio pajak bisa naik ke 15 persen, tambahan penerimaan bisa mendekati Rp 700 triliun–Rp 800 triliun per tahun.

Dana sebesar ini bisa menutup defisit anggaran, mengurangi ketergantungan pada utang, dan memperluas program perlindungan sosial. Hal ini berarti bahwa rasio pajak bukan sekadar angka statistik, tetapi penentu arah kebijakan fiskal dan kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka ialah mengapa Indonesia sulit keluar dari jebakan kisaran 10 persen?

Pertama, basis pajak sempit. Jumlah wajib pajak yang membayar masih terbatas. Dari lebih 275 juta penduduk, hanya sekitar 22 juta wajib pajak orang pribadi yang melaporkan SPT pada 2024.

Sumber : money.kompas.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only