Wamenkeu Sebut Tekanan Restitusi Penyebab Penurunan Penerimaan Pajak per Agustus 2025

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak telah mencapai sebesar Rp1.135,4 triliun hingga Agustus 2025, atau terkontaksi 5,1 persen dibandingkan periode yang sama di tahun lalu yang mencapai Rp1.196,5 triliun. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengungkapkan penurunan itu disebabkan oleh tekanan dari restitusi pajak.

“Realisasi penerimaan pajak adalah 54,7 persen dari target APBN [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp2.076,9 triliun]. Tekanan terbesar datang dari koreksi restitusi, terutama pada PPh [Pajak Penghasilan] badan serta PPN [Pajak Pertambahan Nilai] dan PPnBM [Pajak Penjualan atas Barang Mewah],” jelas Anggito dalam Konferensi Pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTA) di Kemenkeu, dikutip Pajak.com (24/9/25).

Ia mengelaborasi, penerimaan PPh badan hingga Agustus 2025 tercatat Rp280,08 triliun atau anjlok 8,7 persen dibandingkan tahun lalu. Anggito menyebut, meski penerimaan bruto naik, jumlah restitusi yang tinggi membuat capaian neto merosot.

Hal senada juga terjadi pada penerimaan bruto PPN dan PPnBM yang terkumpul Rp631,8 triliun atau turun 0,7 persen. Setelah dikurangi restitusi, penerimaan neto PPN dan PPnBM hanya terhimpun senilai Rp416,49 triliun atau turun 11,5 persen

Kendati demikian, penerimaan PPh orang pribadi mengalami kinerja yang positif sebesar Rp15,91 triliun atau melonjak lebih dari 38 persen.

“Data bruto menggambarkan aktivitas ekonomi, sementara neto menunjukkan posisi akhir setelah restitusi. Nah, koreksi restitusi inilah yang membuat penerimaan terlihat terkoreksi,” ungkap Anggito.

Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Bimo Wijayanto telah mengungkapkan strategi untuk menghadapi lonjakan restitusi sepanjang tahun 2025.

“Mitigasi lonjakan restitusi ini sebenarnya prinsip lama, dengan knowing your taxpayer. Saya minta ke teman-teman di unit vertikal, yakni di KPP [Kantor Pelayanan Pajak] kalau ada yang mengajukan percepatan restitusi betul-betul dianalisis—lokasi tempat keberadaan usahanya, pastikan usahanya juga valid dan solid,” ungkap Bimo dalam Media Briefing Direktorat Jenderal Pajak (DJP), di Kantor Pusat DJP, Jakarta (30/7/25).

Di sisi lain, ia mengakui, menjamurnya bisnis dengan virtual office menjadi tantangan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menganalisis lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak. Meski demikian, Bimo memastikan saat ini seluruh unit vertikal DJP telah dibekali data konkret dan sistem yang andal untuk menganalisis kebenaran pengajuan restitusi pajak.

“Kita juga harus melihat kewajarannya, matching antara pajak masukan dengan pajak keluaran. Kita juga menganalisis dari industri yang sejenis, perilaku struktur biayanya seperti apa, kita lihat benchmark industri untuk menganalisis kewajarannya,” pungkas Bimo.

Sebagaimana diketahui, DJP belum lama menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor PER-16/PJ/2025 yang mengubah PER-6/PJ/2025. Melalui regulasi yang mulai berlaku sejak 13 Agustus ini DJP menyempurnakan ketentuan pengajuan restitusi pajak, serta memperluas cakupan ke special purpose company (SPC) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah.

Pemerintah juga telah mengubah ketentuan pemeriksaan pajak terkait dengan resititusi melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025.

Sumber : pajak.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only