Risiko Besar Mengintai RI Jika Pendosa Pajak Diberi Tax Amnesty Lagi

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tampak ngotot mengampuni lagi pendosa pajak melalui mekanisme Tax Amnesty Jilid III.

Sejak November 2024, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Upaya itu ternyata tak membuahkan hasil, sampai akhirnya ide Tax Amnesty didorong kembali ke Prolegnas Prioritas 2026.

Namun demikian, keinginan itu sepertinya bertepuk sebelah tangan. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa sudah tegas menolak ide pengampunan pendosa pajak.

Ia menilai Tax Amnesty Jilid III justru memberikan sinyal buruk untuk urusan perpajakan tanah air.

“Itu memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar, nanti ke depan-depan ada (tax) amnesty lagi … Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, ya sudah, nanti semuanya akan nyelundupin duit, tiga tahun lagi Tax Amnesty,” jelas Purbaya dalam Media Briefing di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9).

“Setiap berapa tahun kita mengeluarkan Tax Amnesty, sudah jilid dua kan? Satu, dua, nanti tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Ya sudah, semuanya akan, message-nya adalah ‘Kibulin saja pajaknya, nanti kita tunggu di Tax Amnesty. Pemutihannya di situ’. Itu yang gak boleh!” tegasnya.

Pengampunan bagi pendosa pajak memang bukan barang baru. Tax amnesty pertama dilakukan pada 2016-2017, di mana kala itu pemerintah mengaku hanya akan melakukannya sekali demi menarik pengungkapan aset wajib pajak yang selama ini belum dilaporkan.

Amnesti pajak jilid I diikuti 956.793 wajib pajak dengan nilai harta yang diungkap mencapai Rp4.854,63 triliun. Pengungkapan harta itu membuat negara mendapatkan uang tebusan Rp114,02 triliun, yakni 69 persen dari target Rp165 triliun.

Pemerintah ternyata melanggar janjinya dengan membuat Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Ada 247.918 wajib pajak mengikuti PPS dengan total harta yang diungkap senilai Rp594,82 triliun, di mana keseluruhan pajak penghasilan (PPh) yang diraup negara tembus Rp60,01 triliun.

Menyikapi itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono lantas mengutip Pasal 23A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Beleid itu menegaskan bahwa urusan pajak untuk keperluan negara memang harus berdasarkan undang-undang.

“Pembahasan undang-undang (Tax Amnesty Jilid III) harus dilakukan bersama antara pemerintah dan DPR. Ketika salah satu pihak tidak lagi bersedia membahasnya, undang-undang tidak akan pernah ada,” ucap Prianto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/9).

Ia mewanti-wanti dampak buruk tax amnesty yang terlalu sering, yakni membuat wajib pajak menjadi tidak patuh. Mereka yang selama ini patuh pajak bakal merasakan ketidakadilan.

Apalagi, masyarakat sudah membayar pajak lebih tinggi dari tarif khusus pada program tax amnesty. Sedangkan para wajib pajak yang tidak patuh alias tax evaders boleh membayar dengan tarif diskon.

“Karena itu, wajib pajak patuh dapat berpikir bahwa menjadi wajib pajak tidak patuh itu lebih enak karena membayar pajak lebih rendah. Penelitian-penelitian di banyak negara juga memperlihatkan bahwa semakin sering tax amnesty diterapkan, tingkat ketidakpatuhan semakin meningkat. Alih-alih menjadi patuh setelah pelaksanaan, wajib pajak tidak patuh akan menunggu lagi kapan program tax amnesty digulirkan kembali,” jelasnya.

Prianto menegaskan tugas Menkeu Purbaya ke depan bukan hanya menggagalkan ide Tax Amnesty Jilid III. Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, didesak membangun sistem perpajakan berbasis paradigma service and trust.

Misalnya, pada aspek service, otoritas pajak mesti meningkatkan kualitas pelayanan.

Prianto menyinggung sejumlah prinsip kebijakan pajak yang selalu digaungkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, seperti kemudahan administrasi (ease of administration), kesederhanaan sistem (simplicity), perlakuan adil (equality), hingga kepastian hukum (legal certainty).

Sedangkan dari sisi trust atau kepercayaan bisa ditempuh dengan pelayanan yang baik dari DJP. Harapannya, tingkat kepercayaan masyarakat kepada otoritas pajak bakal meningkat sehingga terbentuk voluntary compliance alias kepatuhan sukarela.

“Otoritas pajak tidak perlu mengedepankan paradigma cop and rob. Menurut paradigma ini, petugas pajak merasa sebagai polisi (cop) dan menganggap wajib pajak sebagai perampok (rob). Pada akhirnya, untuk meningkatkan kepatuhan pajak, otoritas pajak menerapkan enforced compliance alias kepatuhan yang dipaksa,” beber Prianto.

Ia juga menekankan pentingnya upaya perbaikan coretax. Sistem inti administrasi perpajakan canggih milik DJP itu dinilai belum cukup memadai, tidak stabil, bahkan kerap muncul downtime. Sebagai konsekuensinya, wajib pajak tidak dapat mengakses layanan dengan baik.

Tax Amnesty Jilid III Bukan Solusi

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman mengapresiasi penolakan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa atas gagasan Tax Amnesty Jilid III.

Akan tetapi, penolakan Purbaya dianggap tidak serta-merta menghapus ide DPR RI yang ngotot menggolkan pengampunan pendosa pajak jilid III. Rizal juga melihat Prolegnas bertindak sebagai long list agenda legislasi.

“Namun, secara hukum, kunci tetap ada di ‘persetujuan bersama’ eksekutif dan legislatif. Tanpa dukungan pemerintah, amnesti pajak tidak bisa menjadi undang-undang,” tegas Rizal.

“Artinya, penolakan Menkeu (Purbaya) adalah sinyal politik sekaligus fiskal bahwa pemerintah tidak bersedia mengorbankan kredibilitas sistem perpajakan demi penerimaan jangka pendek. Justru jika pemerintah konsisten menolak, DPR hanya menghasilkan noise legislasi, tidak policy output,” sambungnya.

Ia kemudian membedah dampak penerapan amnesti pajak, di mana hanya bersifat sesaat bagi keuangan negara. Rizal mengambil contoh dari kasus Tax Amnesty 2016 dan PPS 2022 lalu yang hanya menambah tebusan serta memperluas deklarasi aset.

Akan tetapi, upaya pengampunan pendosa pajak itu gagal memperbaiki tax ratio secara struktural. Rizal menyinggung bagaimana rasio pajak Indonesia masih mandek di sekitar 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Sebaliknya, biaya institusional sangat besar, yakni insentif bagi pengemplang, moral hazard, dan persepsi ketidakadilan bagi wajib pajak patuh. Artinya, short term revenue gain tidak sebanding dengan long term compliance cost. Dalam kerangka konsolidasi fiskal 2025-2026 yang menuntut disiplin penerimaan, pilihan kebijakan yang menurunkan kredibilitas pajak justru kontra-produktif,” tuturnya.

“Jika skenario terburuk, yakni Tax Amnesty Jilid III tetap dipaksakan, maka konsekuensinya adalah normalisasi perilaku wait and see wajib pajak. Pengemplang akan rasional menunda kewajiban dengan ekspektasi pemutihan berikutnya. Ini bukan sekadar risiko, tapi pola berulang yang sudah diamati pasca 2016,” wanti-wanti Rizal.

Ia mendesak pemerintah berani mengumumkan ‘no more tax amnesty’. Hal tersebut diperlukan sebagai commitment device untuk menutup pintu moral hazard.

Selain itu, Rizal mendorong adanya transparansi hasil audit pemerintah. Ia juga menuntut pengurangan kebijakan khusus yang melemahkan basis PPh sampai penyederhanaan aturan demi memperkuat rasio pajak secara berkelanjutan.

Rizal menekankan amnesti hanya akan memperluas defisit kepercayaan. Solusi yang harus ditempuh semestinya adalah melakukan enforcement shock berbasis data coretax, beneficial ownership, serta integrasi lintas lembaga.

“Tax Amnesty Jilid III bukan solusi fiskal berkelanjutan, melainkan fiscal illusion. Pemerintah harus konsisten menolak dan fokus pada reformasi struktural melalui coretax, intensifikasi, dan ekstensifikasi basis pajak. Kenaikan tax ratio hanya bisa dicapai lewat kepatuhan jangka panjang, bukan pemutihan berkala yang mengikis kredibilitas negara,” tandasnya.

Sumber : cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only