Strategi Fiskal Menkeu Purbaya Bisa Membawa Risiko Ekonomi

Anda mungkin sudah tahu, kinerja anggaran Indonesia sampai Agustus masih belum oke. Tapi, Anda mungkin belum tahu, kalau sebenarnya realisasi belanja dan pendapatan negara lebih rendah dari apa yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam konferensi pers APBN KiTA awal pekan ini.

Misal, di data yang ditampilkan pemerintah saat konferensi pers, realisasi belanja negara mencapai 55,6%. Tapi sejatinya, ini adalah realisasi bila dibandingkan dengan outlook laporan semester (lapsem). Sementara bila dibandingkan dengan pagi di APBN, realisasi belanja baru 54,1% (lihat tabel).

Pendapatan negara juga terus merosot. Bila dihitung terhadap pagu anggaran, pendapatan negara di delapan bulan tahun ini baru 54,5%. Ini bahkan lebih rendah dari pendapatan kala pandemi Covid-19.

Artinya, belanja negara sama sekali belum ngebut. Padahal, pemerintah punya segambreng program populis yang digadang-gadangkan bisa memutar roda ekonomi lebih cepat. Nah, di tengah pendapatan dan belanja negara yang masih lambat, defisit anggaran justru melebar menjadi 1,35% dari produk domestik bruto (PDB).

Di sisi lain, pengalihan dana pemerintah dari rekening Bank Indonesia ke rekening Himbara sebesar Rp 200 triliun juga bisa menimbulkan masalah. Kebijakan ini berisiko mempersembit ruang operasi moneter Bank Indonesia (BI), terutama dalam menjaga nilai tukar.

Selain itu, kebijakan ini membuat aset BI berkurang. Padahal, BI membutuhkan aset ini untuk melakukan stabilisasi, termasuk menjaga pasar surat berharga negara (SBN).

Peneliti Makroekonomi dan Pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky menegaskan, akar masalahnya ada pada pengelolaan fiskal. Ia menilai porsi belanja program populis di era Prabowo relatif lebih besar dibandingkan pemerintahan sebelumnya, sehingga membebani APBN.

Menurut dia, memang dibutuhkan belanja agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, hal tersebut tetap harus dilakukan dengan disiplin fiskal. “Penerimaan stagnan, sementara banyak belanja tidak tepat sasaran, seperti MBG. Seharusnya belanja diarahkan ke program produktif dan didukung peningkatan penerimaan,” kata Riefky, Rabu (24/9).

Sebab itu, Riefky menekankan perlunya evaluasi ulang terhadap program populis yang menggerus ruang fiskal. “Pemerintah harus mengembalikan disiplin fiskal dan menghilangkan fiscal dominance yang muncul dari burden sharing,” tegasnya.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menekankan pentingnya pemerintah mempublikasikan peta jalan defisit tiga tahun yang menurun serta mekanisme pemutus otomatis untuk memangkas belanja non-prioritas, bila penerimaan meleset. Selain itu, pemerintah perlu menerbitkan kalender pembiayaan SBN yang lebih rinci, termasuk strategi buyback dan porsi valas yang hati-hati.

Di sisi penerimaan, penguatan tak cukup hanya lewat penyesuaian tarif, melainkan dengan pelebaran basis pajak hingga penerbitan insentif yang tidak efektif. “Langkah-langkah ini akan menenangkan pasar,” ujarnya.

Sedangkan langkah pemerintah menggeser Rp 200 triliun kas negara ke bank Himbara untuk mendorong kredit, dinilainya bisa efektif. Syaratnya, ini dilakukan dengan didukung komposisi belanja produktif dan iklim investasi yang membaik.

Di sisi lain, ia juga mengingatkan agar BI menjada konsistensi mandat moneter. Transparansi terkait alasan penurunan suku bunga perlu diperkuat agar tidak menimbulkan kesan kebijakan likuiditas digunakan untuk membiayai defisit.

Sumber : Harian Kontan, Kamis 25 September 2025, Hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only