Meski peluang kripto untuk berkembang sebagai instrumen pembayaran di Indonesia dinilai terbuka lebar, sejumlah tantangan dinilai harus segera diatasi. Salah satunya adalah maraknya exchange ilegal yang masih beroperasi dan mengambil porsi besar dari transaksi pengguna dalam negeri.
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menyebut masalah ini harus menjadi perhatian utama karena dapat mengganggu perlindungan konsumen sekaligus merugikan negara. Selain itu, ia menilai regulasi perpajakan yang berlaku saat ini juga perlu disesuaikan agar lebih sesuai dengan karakteristik pasar kripto yang bersifat lintas batas (borderless).
“Potensi kripto sebagai instrumen pembayaran di Indonesia tidak hanya bergantung pada kesiapan teknologi, tetapi juga pada keberanian regulasi untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, kripto dapat berevolusi dari sekadar instrumen investasi menjadi bagian penting dalam sistem pembayaran digital nasional,” kata Calvin dikutip dari keterangan resmi, Kamis (2/10/2025).
Menurutnya, konsolidasi antarotoritas seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Pajak menjadi kunci dalam membangun kerangka regulasi yang seimbang. Kerja sama lintas lembaga diperlukan untuk menyeimbangkan tiga aspek: perlindungan konsumen, stabilitas sistem keuangan, dan ruang inovasi.
Calvin menambahkan, aset kripto sebenarnya sudah memberikan kontribusi nyata bagi penerimaan negara. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, penerimaan pajak kripto hingga 31 Agustus 2025 tercatat Rp1,61 triliun, atau sekitar 4% dari total pajak ekonomi digital yang mencapai Rp41,09 triliun.
Ia menegaskan, jika regulasi mampu beradaptasi dan memberi ruang inovasi, kripto dapat memperluas inklusi keuangan sekaligus memperkuat posisi Indonesia di peta ekonomi digital global.
Sumber : wartaekonomi.co.id

WA only
Leave a Reply