Ditjen Pajak memperkirakan laporan SPT Hanya 14 juta
Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak memprediksi jumlah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Tahun Pajak 2025 di tahun depan hanya mencapai sekitar 14,5 juta. Jumlah tersebut turun banyak dibandingkan jumlah penyampaian SPT Tahunan Tahun Pajak 2024 sebanyak 16,52 juta.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Rosmauli menyampaikan, dari estimasi 14,5 juta wajib pajak yang melapor, sekitar 13 juta merupakan wajib pajak orang pribadi. Lalu sisanya merupakan wajib pajak badan.
Dari jumlah wajib pajak orang pribadi tersebut, sekitar 11,2 juta berasal dari karyawan dan 2,2 juta dari non karyawan. “Ini masih berupa perkiraan. Kami menghitung berdasarkan beberapa asumsi,” jelas Rosmauli kepada KONTAN, Senin (20/10).
Asumsi yang dimaksud, pertama, kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun berpotensi berkurang. Kedua, jumlah wajib pajak berstatus non efektif (NE) berpotensi bertambah.
Ketiga, jumlah wajib pajak di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yakni di bawah Rp 54 juta per tahun, berpotensi meningkat.
Sebab itu, Ditjen Pajak mengaku tengah menyiapkan langkah antisipasi, terutama terkait sosialisasi dan edukasi menjelang masa pelaporan SPT tahun depan. Terlebih, pelaporan SPT tahun depan untuk kali pertama akan menggunakan Coretax.
Kepercayaan turun
Rosmauli juga mengatakan, hingga 20 Oktober 2025, baru 2 juta wajib pajak pribadi dan 500.000 wajib pajak badan yang telah melakukan aktivasi akun di sistem Coretax. Ditjen Pajak mengimbau agar wajib pajak segera melakukan aktivasi akun Coretax tersebut. “Wajib pajak tidak bisa melapor jika belum mengaktifkan akunnya,” tambah Rosmauli.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, potensi penurunan pelaporan SPT tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi domestik yang sedang tertekan. Menurut Bhima, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi sepanjang tahun ini menjadi salah satu penyebab utama.
Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, sehingga tidak lagi termasuk dalam kelompok wajib pajak yang harus menyampaikan SPT. “Ada juga yang sebelumnya di atas PTKP kemudian turun kelapisan bawah, sehingga dikecualikan dari PPh 21,” ungkap Bhima, kemarin.
Ia menambahkan, tekanan ekonomi juga membuat banyak pelaku UMKM beroperasi dalam mode bertahan, sehingga enggan melaporkan SPT karena kondisi usaha yang belum stabil.
Pengamat Pajak Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga menyoroti persoalan menurunnya kepercayaan publik terhadap otoritas pajak dan pemerintah sebagai penyebab turunnya kepatuhan pajak.
Jika kondisi tersebut terus berlanjut, kata Bhima, pemerintah perlu memperkuat komunikasi publik dan transparansi penggunaan dana pajak agar kepercayaan masyarakat dapat pulih.
Sumber : Harian Kontan, Selasa 21 Oktober 2025, Hal 12

WA only
Leave a Reply