Langkah Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak mengejar sektor ekonomi informal makin terang. Mulai Tahun depan informasi keuangan yang dipertukarkan secara otomatis antarnegara atau Automatic Exchange of Information (AEoI) akan di perluas.
Perluasan ini mencakup rekening produk uang elektronik dan mata uang digital bank sentral alias central bank digital currency (CBDC). Langkah ini merupakan bagian dari implementasi Amendments to the Common Reporting Standard (Amended CSR) yang ditetapkan oleh OECD.
Indonesia menjadi salah satu negara yang telah menandatangani Addendum to the CRS Multilateral Competent Authority Agreement (CRS MCAA) pada 19 November 2024, menandai komitmen untuk mengadopsi standar pelaporan keuangan global terbaru mulai 2026, dengan pertukaran data dilakukan pada 2027.
Melalui PENG-3/PJ/2025, Direktur Jendral Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan, Ditjen Pajak tengah menyiapkan rancangan peraturan menteri keuangan (PMK) sebagai dasar hukum implementasi standar baru tersebut. Nantinya, beleid baru tersebut akan menggantikan PMK 70/2017, yang terakhir diubah dengan PMK 47/2024.
Dalam rancangan kebijakan baru tersebut, Ditjen Pajak memperluas jenis rekening keuangan yang wajib dilaporkan. Tak hanya rekening bank, namun juga produk uang elektronik tertentu (Specified Electronic Money Product), dan mata uang digital bank sentral. Selain itu, aturan baru tersebut juga akan mencegah duplikasi pelaporan antara standar CRS dan Crypto-Asset Reporting Framework (CARF), serta menyempurnakan prosedur identifikasi rekening keuangan.
Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia Raden Agus Supraman menilai, langkah ini akan menjadi terobosan besar dalam pengawasan dan penggalian potensi perpajakan di Indonesia. Keterbukaan data transaksi juga diyakininya akan meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan sitem terintegrasi seperti Coretax, Ditjen Pajak nantinya bisa mendeteksi saldo atau transaksi keuangan yang tidak dilaporkan di SPT Tahunan.
Sumber : Harian Kontan, Jumat 31 Oktober 2025, Hal 2

WA only
Leave a Reply