Asa pertumbuhan dari insentif pajak penghasilan

Ketika tahun anggaran 2025 memasuki babak pertengahan, pemerintah kembali memoles kebijakan fiskalnya agar lebih adaptif terhadap tekanan ekonomi global dan domestik.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025, negara memperluas cakupan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), yang sebelumnya telah diatur dalam PMK 10 Tahun 2025.

Kebijakan ini tidak sekadar soal perpajakan, tetapi lebih jauh merupakan instrumen stabilisasisosial-ekonomi. Dengan menanggung pajak yang semestinya dipotong dari penghasilan pekerja, negara pada hakikatnya memberikan “tambahan take-home pay” bagi jutaan pegawai di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, kulit, dan pariwisata.

PPh 21 DTP berlaku sepanjang Januari–Desember 2025 bagi industri padat karya, dan Oktober–Desember 2025 bagi industri pariwisata.

Ketentuan ini menggarisbawahi dua hal penting: pertama, pemerintah memahami bahwa sektor berbasis tenaga kerja masih menjadi penyerap lapangan kerja terbesar di Indonesia; kedua, kebijakan pajak diarahkan bukan hanya untuk menambah penerimaan, tetapi juga untuk memelihara daya beli masyarakat dan mempertahankan hubungan kerja.

Efektivitas kebijakan fiskal tidak hanya diukur dari nilai insentifnya, tetapi juga dari respon duniausaha dan dampak sosial-ekonominya. Di tengah tekanan ekonomi global, sektor padat karya menjadi kelompok yang paling rentan terhadap fluktuasi permintaan dan biaya produksi.

Melalui PPh 21 DTP, pemerintah mendongkrak daya tahan perusahaan dengan meringankan beban administrasi pajak serta memberikan sinyal keberpihakan fiskal. Bagi pekerja, insentif ini berarti penghasilan bersih yang lebih besar tanpa tambahan biaya bagi perusahaan. Dalam konteks industri tekstil dan alas kaki, misalnya, rata-rata pekerja berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan akan menerima manfaat langsung dalam bentuk pendapatan bersih lebih tinggi sekitar 3–5 persen dibandingkan tanpa kebijakan ini.

Dampaknya secara makro dapat dihitung melalui multiplier konsumsi rumah tangga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi mencapai 53,7 persen dari PDB pada triwulan III-2025. Maka, setiap rupiah tambahan di tangan pekerja akan mengalir ke pasar ritel, logistik, dan jasa lainnya.

Dari sisi ketenagakerjaan, kebijakan ini diharapkan menahan laju Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sempat meningkat 7 persen di sektor tekstil pada semester I-2025 (data Kemenaker). Dengan menjaga stabilitas tenaga kerja, pemerintah tidak hanya melindungi individu, tetapi juga mempertahankan kapasitas produksi nasional di tengah ancaman perlambatan ekspor.

Implikasi fiskal

Salah satu substansi yang penting dalam PMK 72/2025 adalah perluasan penerima insentif ke sektor pariwisata. Pemerintah memahami bahwa industri ini belum sepenuhnya pulih dari efek pandemi dan masih tertekan akibat gejolak geopolitik serta penurunan kunjungan wisatawan dari Tiongkok dan Eropa.

Dengan menanggung PPh 21 pekerja hotel, restoran, biro perjalanan, dan atraksi wisata selama Oktober – Desember 2025, negara berupaya memberi nafas tambahan bagi industri yang menyerap lebih dari 14 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung.

Kebijakan ini juga memperkuat sinergi lintas sektor: pariwisata tidak berdiri sendiri, tetapi terhubung dengan industri kuliner, transportasi, dan ekonomi kreatif.

Ketika daya beli wisatawan domestik meningkat akibat peningkatan pendapatan bersih pekerja, maka multiple effect ekonomi lokal menjadi sangat nyata. Selanjutnya mengacu kepada laporan Bank Indonesia yang diumumkan dalam laporan Stabilitas Keuangan Triwulan II-2025, menyebutkan bahwa peningkatan aktivitas pariwisata mampu menstimulasi sektor perhotelan, transportasi, dan konsumsi daerah hingga 1,4 persen terhadap PDB regional. Sehingga, insentif PPh 21 DTP tidak hanya membantu pekerja, tetapi juga memperkuat pemulihan ekonomi berbasis daerah.

Dari sisi fiskal, PPh 21 DTP berarti potensi pengurangan penerimaan pajak negara. Namun, pendekatan kebijakan ini bersifat kontra-siklikal: ketika perekonomian sedang melemah, negara harus hadir dengan belanja fiskal yang strategis agar tidak terjadi kontraksi lebih dalam.

Estimasi sementara menunjukkan bahwa total beban fiskal dari kebijakan ini berkisar Rp5 s.d 6 triliun hingga akhir tahun anggaran, dengan asumsi kepatuhan pemberi kerja di lima sektor utama mencapai 80 persen. Namun, potensi dampak berganda (multiplier effect) terhadap konsumsi dan output ekonomi bisa mencapai 1,7 kali lipat dari biaya fiskal, menurut model keseimbangan umum yang digunakan dalam simulasi Kementerian Keuangan.

Selain dampak ekonomi jangka pendek, kebijakan ini juga memiliki dimensi administratif dan struktural.

Salah satu kriteria penerima adalah pekerja dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau NIK yang telah terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak. Artinya, PMK 72/2025 juga berperan dalam mendorong formalitas dan perluasan basis data perpajakan, terutama bagi sektor padat karya yang masih memiliki banyak pekerja informal.

Namun, tantangan keberlanjutan muncul pada aspek targeting dan evaluasi efektivitas. Pemerintah perlu memastikan bahwa insentif benar-benar dinikmati oleh pekerja berpenghasilan rendah, bukan sekadar menjadi tambahan kas jangka pendek bagi perusahaan. Untuk itu, transparansi pelaporan dan pengawasan lintas instansi menjadi kunci antara Ditjen Pajak, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Badan Pengelola Data Nasional.

Pajak Untuk Menjembatani Kesejahteraan

Kebijakan fiskal semestinya tidak berhenti di level stimulus, tetapi berlanjut pada transformasi struktural.

Pemberian insentif PPh 21 DTP apabila dievaluasi dengan baik, dapat menjadi jembatan menuju reformasi pasar tenaga kerja dan sistem pengupahan yang lebih adaptif. Dalam konteks global, negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh telah menggunakan mekanisme fiskal serupa untuk menjaga daya saing ekspor sekaligus melindungi pekerja domestik. Vietnam, misalnya, menanggung sebagian kontribusi sosial dan pajak bagi pekerja di sektor garmen untuk mempertahankan produksi di tengah penurunan permintaan AS dan Eropa tahun 2024.

Bagi Indonesia, pelajaran pentingnya adalah bahwa insentif fiskal perlu diiringi reformasi nonfiskal: deregulasi tenaga kerja, peningkatan produktivitas, dan modernisasi rantai pasok industri. Tanpa itu, insentif pajak hanya bersifat sementara dan tidak menghasilkan nilai tambah jangka panjang.

Oleh karena itu, PMK 72/2025 harus dipandang sebagai bagian dari orkestrasi kebijakan nasional, bukan kebijakan pajak yang berdiri sendiri. Ia sejalan dengan misi Akselerasi 2025 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen serta penurunan tingkat pengangguran terbuka di bawah 4,5 persen pada 2026.

Selanjutnya perubahan PMK 72/2025 menegaskan bahwa pajak tidak hanya alat pungutan, tetapi juga instrumen distribusi kesejahteraan. Dalam kondisi ekonomi yang dinamis, kebijakan ini menjadi wujud keberpihakan fiskal terhadap kelompok rentan tanpa mengorbankan kredibilitas fiskal negara. Ke depan, keberhasilan kebijakan ini akan diukur bukan dari seberapa besar pajak yang ditanggung pemerintah, tetapi seberapa banyak pekerja yang tetap bekerja, seberapa kuat daya beli yang terjaga, dan seberapa besar kontribusi terhadap pemulihan ekonomi nasional.

Oleh karena itu ke depan Pemerintah harus senantiasa mendorong implementasi kebijakan fiskal yang secara komprehensif berusaha menjaga “nafas ekonomi” masyarakat dari hulu ke hilir. Dengan demikian roda produksi tetap berputar, konsumsi tetap hidup, sehingga menyemai optimisme kepercayaan publik terhadap instrumen fiskal yang diluncurkan Pemerintah untuk memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Sumber : megapolitan.antaranews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only