Pemerintah Indonesia kembali berencana menerapkan pajak eskpor batubara mulai 2026. Kebijakan ini sebenarnya bukan hal baru. Indonesia pernah menerapkan bea keluar batubara pada 2006 silam, namun kemudian dihapus. Alasannya saat itu pemerintah ingin mendorong ekspor, menjaga daya saing industri sekaligus meningkatkan penerimaan devisa.
Dua dekade berlalu, situasinya berubah. Pemerintah melihat perlunya kembali memungut pajak ekspor. Besaran tarifnya belum diumumkan. Pemerintah masih menunggu pergerakan harga dan hasil studi lanjutan. Pencana ini akan dibarengi dengan dua kebijakan lain, yaitu menurunkan produksi batubara untuk mengurangi over suplai, dan menaikkan porsi penjualan domestik melalui skema domestic market obligation (DMO).
Monopoli tapi undepriced
Di pasar global, Indonesia adalah satu-satunya produsen besar batubara kalori rendah. Semua barubara kalori rendah di pasar internasional berasal dari Indonesia. Dari kacamata ekonomi, posisi ini mirip monopoli. Secara teori, pelaku monopoli bisa menjual barang dengan harga yang lebih mahal, overpriced.
Tapi kenyataanya terbalik. Harga batubara kalori rendah Indonesia justru cenderung underpriced dibandingkan standar internasional.
Sebagai ilustrasi, harga batubara di Newcastle untuk kalori 6500 (NAR) dalam satu bulan terkahir (November 2025) adalah US$ 110 per metrik ton FOB Mother Vessel (MV). Sementara harga batubara di Indonesia Coal Index (ICI) pada bulan yang sama adalah US$ 48 untuk kalori 3800 (NAR) FOB Tongkang. Jika harga Newcastle dikonversi ke kalori yang sama, harganya menjadi US$ 64. Kemudian jika dikurangi lagi dengan biaya transhipment dari Tongkang ke MV menjadi sekitar US$ 59. Artinya harga batubara kalori rendah Indonesia sekitar 20% lebih rendah dibandingkan pasar internasional.
Mengapa bisa demikian? Penyebab utamanya adalah kelebihan suplai. Pertambangan Indonesia umumnya kecil-kecil dan sensitif terhadap harga. Begitu harga naik sedikit, produksi langsung melonjak. Hasilnya bisa di tebak: stok menumpuk, pasar penuh, harga jatuh.
Di banyak pelabuhan dan tambang, hal ini terlihat jelas. Tumpukan barubara di stockpile menggunung, menunggu pembeli. Kondisi ini membuat penambang cenderung melepas barang harga semakin rendah.
Di titik ini, kebijakan pemerintah untuk mengurangi produksi sebenarnya sangat tepat. Mengurangi suplai adalah kunci untuk memperbaiki harga ekspor yang sudah lama terlalu rendah.
Kebutuhan domestik naik
Masalahnya, di saat pemerintah ingin mengurangi produksi, kebutuhan dalam negeri justru meningkat. Penyebabnya adalah bertambahnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive dalam kawasan industri hilirisasi.
Studi CREA dan GEM menunjukkan kenaikan jumlah kapasitas PLTU secara signifikan antara tahun 2023-2024. Menurut studi tersebut, dalam satu tahun itu saja, terjadi kenaikan kapasitas PLTU sebesar 7,2 Gigawatt (GW), di mana sebagian besarnya atau 62% berasal dari PLTU captive yang dibangun untuk industri hilirisasi. Lonjakan ini mendorong konsumsi batubara domestik naik pesat dari tahun ke tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah berencana menaikkan porsi DMO. Rencana ini langsung menimbulkan reaksi dari para penambang. Mereka meminta harga DMO dinaikkan dari US$ 70 menjadi US$ 90 permetrik ton, agar keuntungannya tidak berkurang ketika porsi domestik diperbesar.
Masalahnya, kebijakan menurunkan volume produksi dan menaikkan DMO sebenarnya saling bertentangan. Jika produksi dibatasi, maka harga ekspor akan naik. Jika harga ekspor naik, penambang akan makin enggan menjual ke domestik dengan harga DMO yang lebih rendah. Di sisi lain, kebutuhan domestik meningkat pesat.
Inilah simpul masalahnya. Pemerintah ingin memperbaiki harga ekspor, tetapi juga ingin menjaga harga domestik tetap rendah untuk kebutuhan industri yang semakin meningkat. Dua tujuan ini saling tarik-menarik.
Jalan keluar elegan
Di sinilah pajak ekspor bisa menjadi solusi yang elegan. Pajak ekspor tidak hanya meningkatkan penerimaan negara. Ia juga menciptakan diferensiasi harga antara pasar ekspor dan pasar domestik.
Bea keluar dapat membuat harga ekspor menjadi lebih tinggi. Apalagi jika kebijakan pajak ekspor tersebut dibarengi dengan kebijakan pembatasan produksi.
Dampak kenaikan harga ekspor akan semakin kuat. Pada saat yang sama, pajak ekspor juga membuat harga domestik menjadi lebih rendah. Selisihnya kira-kira sebesar tarif pajak ekspor tersebut.
Contoh, ketika harga internasional sekitar US$ 100 per metrik ton, kemudian pemerintah menerapkan pajak ekspor sebesar 30%, maka, harga domestik akan menjadi 30% lebih rendah daripada harga ekspor, atau di kisaran US$ 70 per metrik ton. Karena bagi eksportir, tidak ada bedanya bagi mereka antara mengekspor dengan harga US$ 100 dan membayar tarif 30% atau menjual di dalam negeri dengan harga US$ 70 tanpa tarif.
Dengan mekanisme ini, pemerintah bisa mengejar dua tujuan sekaligus, yaitu (1) menaikkan harga batubara Indonesia di pasar internasional, sehingga tidak lagi underpriced; dan (2) menjaga harga domestik tetap rendah, sehingga tidak menekan industri dan tidak mempersulit DMO.
Untuk tahap awal, pemerintah bisa menerapkan tarif yang relatif rendah tapi cukup material, misalnya antara 5%-15%. Tarif rendah lebih mudah diterima pelaku usaha. Sementara pada sisi yang lain, ia juga dapat menurunkan selisih antara harga ekspor dan harga DMO. Jika sudah berjalan normal, tarif bisa dinaikkan secara bertahap sampai mendekati level selisih anatara harga internasional dan harga DMO yang saat ini ada di kisaran 30%. Pada tahap tersebut, pajak ekspor bisa pelan-pelan menggantikan DMO.
Pasar batubara Indonesia memang unik. Kita adalah pemain besar, tetepi harga batubara kita justru sering lebih daripada pasar global. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang rasional agar struktur pasar menjadi lebih sehat.
Pajak ekspor adalah jalan keluar yang cukup elegan. Ia bisa menaikkan harga ekspor, menjaga pasokan domestikdengan harga lebih murah, dan menambah pendapatan pemerintah. Sekali dayung, tiga pulai terlampaui.
Sumber : Harian Kontan, Jum’at 21 November 2025, Hal 15

WA only
Leave a Reply