Membidik Crazy Rich untuk Amankan Pajak

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto memiliki data lebih lengkap terkait profil wajib pajak orang kaya

Pemerintah masih melancarkan upaya untuk mengamankan penerimaan pajak hingga akhir tahun. Mengingat, risiko pelebaran selisih antara realisasi dengan target alias shortfall penerimaan pajak di depan mata.

Maklum, setoran pajak per akhir Oktober 2025, baru mencapai Rp 1.459,03 triliun. Angka ini, setara 66,64% dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun atau 70,2% dari outlook Rp 2.076,9 triliun.

Walhasil, dalam dua bulan, pemerintah harus mengumpulkan penerimaan pajak Rp 730,27 triliun untuk mencapai target, atau detidaknya mengumpulkan Rp 617,87 triliun untuk mencapai outlook.

Nah, salah satu upaya yang dilakukan, yakni membidik setoran pajak dari kelompok high wealth individual (HWI) atau wajib pajak orang kaya (crazy rich). Direktur Jendral Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, pihaknya memanggil HWI setelah menemukan banyak ketidaksesuaian antara laporan Surat Pemberitahuan (SPT) mereka dengan data pembanding yang dimiliki pemerintah. Sayangnya, Bimo tak memperinci besarannya.

“Kebetulan hari ini juga saya melakukan pemanggilan untuk konsultasi kepada HWI. Kami punya data-data yang selama ini mungkin tidak pernah terkomunikasikan dengan baik,” ujar Bimo dalam acara yang digelar Pusdiklat Pajak, Kamis (11/12).

Bimo mengatakan Ditjen Pajak saat ini mengantongi beragam sumber data yang lebih lengkap dibandingkan sebelumnya, termasuk data beneficial owner. Namun, sebagian wajib pajak masih merasa otoritas pajak tidak memiliki akses terhadap data tersebut sehingga tidak melaporkan dalam SPT.

Direktur potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak, Ihsan Priyawibaba menambakan, pada kelompok HWI, sektor pertambangan masih menjadi salah satu sumber risiko ketidakpatuhan tertinggi. Alhasil, kata Ihsan, terdapat sekitar seribuan HWI, termasuk dari sektor minerba yang seluruhnya telah masuk radar pengawasan kepatuhan.

Ia menjelaskan bahwa karakter industri tambang yang padat modal, berisiko tinggi, serta kerap melibatkan banyak entitas terkait membuat sektor ini rentan terhadap praktik ketidakpatuhan. Mulai dari transfer pricing, perbedaan pelaporan penjualan, hingga manipulasi nilai yang berdampak pada kewajiban penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Tingkat kepatuhan

Pengamat Pajak Center Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah termasuk membidik HWI, tetap sulit untuk mengejar target, bahkan outlook penerimaan pajak sekalipun. Hal ini merujuk perbandingan dari kinerja tahun-tahun sebelumnya.

“Kalaupun pertumbuhan pada kuartal IV itu sama dengan tahun lalu, penerimaan pajak tetap berat menurut saya,” kata Fajry kepada KONTAN, kemarin.

Meskipun begitu, ia menilai masih ada opsi lain yang bisa diambil Ditjen Pajak, yakni mengejar sektor atau kelompok yang belum patuh. Sebab, “Tentu kita tidak ingin ada keluhan berburu di kebun binatang sendiri lagi. Tahun ini, harus dikorbankan untuk tingkat kepatuhan jangka panjang,” tandasnya.

Sebelumnya, Fajry menghitung bahwa dalam skenario terburuk, penerimaan pajak tahun ini hanya akan mencapai 81% dari target. Dengan demikian, shortfall pajak tahun ini diperkirakan sekitar Rp 328,4 triliun hingga Rp 394,07 triliun.

Sumber : Harian Kontan, Jum’at 12 Desember 2025, Hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only