Setoran pajak sektor manufaktur, perdagangan dan pertambangan menurun di awal tahun
Sektor manufaktur atau industri pengolahan masih menjadi andalan penerimaan pajak di Indonesia. Kementrian Keuangan mencatat, hingga 15 Maret 2024, penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan mencapai Rp 85,29 trilliun.
Industri pengolahan menjadi penyumbang setoran pajak terbesar, yakni setara 25,64% total penerimaan pajak. Sayangnya, setoran pajak dari sektor ini turun 12,3% (lihat tabel). Hal itu dipengaruhi koreksi harga komoditas sejalan dengan peningkatan restitusi dan penurunan angsuran PPh Badan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, sektor industri pengolahan terutama subsektor industri sawit dan industri logan dasar mengalami tekanan. “Ini lagi-lagi karena adanya restitusi tadi. Kalau tidak ada restitusi, industri pengolahan masih tumbuh tipis 1,9%,” ujar dia, Senin (25/3).
Adapun sektor perdangangan yang menyumbang setoran pajak Rp 81 trilliun menjadi konstribusi terbesar kedua atau 24,35% dari total penerimaan pajak. Lagi-lagi, penerimaan pajak dari sektor perdagangan ini turun 0,2%. Adapun sektor ini mengalami tekanan terutama pada subsektor perdagangan besar bahan bakar.
Di sisi lain, sektor yang terkait komoditas lainnta seperti pertambanganjuga merosot. Tercatat setoran pajak dari sektor ini hanya Rp 19,4 triliun, atau turun 26,8%. “Untuk sektor pertambangan dan manufaktur tertekan cukup bear karena harga-harga komoditas dan menibulkan berbagai restitusi yang harus dibayarkan kembali,” kata Sri.
Analis Senior Indonesia Strategic dan Economic Action Institution (ISEA), Rony P Sasmita menganalisis, salah satu penyebab setoran pajak pada sektor andalan turun karena adanya tekanan daya beli yang dialami masyarakat kelas menengah.
Sebenarnya, tekanan daya beli ini sudah berlangsung sejak kuartal III 2023, yang mana konsumsi rumah tangga tumbuh dibawah pertumbuhan ekonomi. Ini ditandai pelemahan penjualan barang tahan lama. Melemahnya daya beli kelas menengah akibat kenaikan biaya hidup, baik karena biaya kebutuhan pokok terus naik, terutama akibat inflansi volatile foods (komoditas pokok), menyebabkan pembelian barang tahan lama merosot. “Jadinya biaya lebih banyak ke kebutuhan pokok dan menekan porsi pendapatan yang seharusnya digunakan untuk pembelian barang tahan lama,” tutur dia.
Bahkan Ronny menduga, ada pula masyarakat yang menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang sebelumnya tidak memaki tabungan.
“Jika ini terus dibiarkan akan menyebabkan tekanan deflasi kepada pertumbuhan ekonomi kita dan kepada fiskal disisi lain, yakni berupa penurunan penerimaan pajak dari sektor yang mengalami penurunan aggregate demand,” ungkap dia.
Setidaknya kata Ronny, untuk menjaga masyarakat kelas menengah secara keseluruhan dan kelas bawah, pemerintah harus menaikkkan upah minimun provinsi (UMP), setidaknya sebesar 10%.
Ia juga menekankan, penurunan kinerja penjualan barang tahan lama harus menjadi perhatian pemerintah karena pertumbuhan ekonomi dalam negeri sangat dipengaruhi dorongan konsumsi, utamanya kelas menengah. “Jika konsumsi segmen kelas menengah ditekan, maka tekanannya akan cukup besar ke ekonomi,” ungkap Ronny.
Sumber : Harian Kontan

WA only
Leave a Reply