Penggunaan NIK sebagai NPWP menjadi pintu masuk bagi pemerintah menuju satu data dan untuk memacu setora pajak
Per 1 Juli 2024, Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan (Kemenkeu) memulai era baru admnistrasi perpajakan. Mulai bulan ini, pemerintah menerapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Sudah ada tujuh layanan administrasi pajak yang harus diakses menggunakan NIK atau NPWP 16 digit dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU). Ketentuan ini tertuang dalam peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-6/PJ/2024.
Kendati demikian, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti menjelaskan, wajib pajak masih dapat memakai NPWP lama dengan format 15 digit untuk mengakses tujuh layanan administrasi itu hingga batas waktu yang ditentukan, yakni hingga Desember 2024. Ditjen Pajak berencana terus menambah jumlah layanan yang bisa diakses secara online. “Secara bertahap, kami akan mengumumkan penambahan jenis layanan yang sudah mengakomodasi NIK sebagai NPWP, NPWP 16 digit dan NITKU,” ujar dia, belum lama ini.
Dwi juga menyebutkan tidak ada sanksi kepada wajib pajak yang belum memadankan NIK sebagai NPWP. Namun wajib pajak tetap diminta melakukan pemadanan secara mandiri. “Tidak ada sanksi kepada wajib pajak yang belum melakukan pemadanan NIK sebagai NPWP,” kata dia.
Konsultan Pajak PT Botax Conulting Indonesia Raden Agus Suparman melihat pentingnya penggunaan NIK sebagai NPWP karena administrasi pemerintahan menuju satu data, yakni mengacu NIK atau single identity number. Jadi, pemerintah lebih mudah mengidentifikasi seseorang, saling mengirim data antar instansi.
Ditjen Pajak juga dapat memanfaatkan data dari instansi lain, seperti Kementrian Hukum dan HAM untuk data pemilik perusahaan, setoran modal dan data visa. Juga data dari Badan Pertahanan Nasional untuk kepemilikan tanah, Polri untuk data kepemilikan kendaraan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk data rekening bank. “Data itu dimanfaatkan oleh DJP untuk analisis biaya hidup dan penghasilan wajib pajak, kemudian dibandingkan dengan data SPT Tahunan,” kata Agus.
Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menjelaskan, ada dua dimensi utama NIK sebagaii pengganti NPWP. Pertama, pemerintah mengupayakan kebijakan Satu Data Indonesia (SDI). Kebijakan SDI tak hanya berlaku untuk kepentingan pajak, namun juga kepentingan non pajak.
Kedua, pemadanan NIK dengan NPWP juga untuk memundahkan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi (WP DN OP). “Skemanya melalu data matching, dengan kata lain, data WP DN OP di SPT PPh akan di cocokkan dengan data dari sumber lain yang berasal dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi maupun pihak lainnya,” kata Prianto.
Dari tujuh layanan perpajakan yang bisa memaki NIK, NPWP 16 digit dan NITKU, Prianto melihat, hanya layanan e-Boput 21/26 dan e-Boput Unifikasi yang akan sering digunakan oleh wajib pajak (WP) badan. “Karena WP badan harus memotong dan melaporkan PPh. Dilayanan itu, NPWP menjadi prasyarat wajib agar bukti potong dapat dibuat sepanjang pihak yang dipotong merupakan WP OP DN,” pungkas dia.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply