Pemerintahan Prabowo Subianto melihat adanya potensi penerimaan yang belum masuk ke kantong negara. Nilainya tak sedikit, yakni mencapai Rp 300 triliun.
Potensi penerimaan inilah yang akan dikejar pemerintahan baru untuk menambal penerimaan yang akan hilang karena wacana pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 22% menjadi 20% serta rencana penundaan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.
Pemerintahan Prabowo memiliki sejumlah program yang membutuhkan dana besar. Tak hanya itu, Prabowo juga berambisi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8%. Anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Hashim Djojohadikusumo sebelumnya menyebutkan, terdapat sejumlah pengusaha perkebunan sawit nakal yang belum membayar pajak kepada pemerintah. Nilai total utang pajaknya mencapai Rp 300 triliun.
Menurut Hashim, Prabowo telah mengantongi data tersebut dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (ВРКР).
Dikonfirmasi terpisah, Kepala BPKP Muhanimad Yusuf Ateh membenarkan ihwal temuan tersebut. Meski begitu, dia belum bisa menjelaskan lebih terperinci terkait hasil temuan BPKP. “Benar, tapi baru temuan sementara. Audit masih jalan terus,” kata dia kepada KONTAN, kemarin. Sebelumnya, Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo bahkan menyebut, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat wajib pajak nakal melebihi Rp 300 triliun. “Saya ingin mengatakan jumlah sebenarnya lebih besar dari itu, lebih besar. Cuma Pak Hashim sudah menyampaikan Rp 300 triliun, kita pakai angka Rp 300 triliun,” kata Dradjad, Rabu (9/10).
Namun, Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menilai, upaya mengejar pengemplang pajak akan sulit dilakukan dalam satu hingga dua tahun pertama pemerintahan Prabowo. “Perlu rekonstruksi dalam semua aspek dan jangan lupa wajib pajak besar itu tak sepenuhnya pengemplang dalam artian melanggar hukum. Sebagian mereka menghindari pajak dengan cara legal,” tutur dia, Kamis (10/10).
Proses panjang
Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono juga mengatakan, jika memburu pengemplang pajak, potensi penerimaan tambahan di tahun pertama tidak akan banyak. Secara teknis, penentuan wajib pajak sebagai pengemplang pajak harus melalui proses di Pengadilan Pajak. atau Mahkamah Agung.
Sementara, untuk mengejar pengemplang pajak melalui peradilan pidana pajak juga harus melalui proses panjang. Mulai dari peradilan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi di Mahkamah Agung. Namun menurut dia, ada cara cepat untuk mendapatkan dana dari para pengemplang pajak tanpa proses litigasi, yaitu dengan program pengampunan pajak. Sayangnya, program ini telah tiga kali dilakukan pemerintah, namun belum membuahkan hasil yang maksimal.
Prianto juga melihat, potensi penerimaan Rp 300 triliun dari pebisnis sawit belum tentu dapat direalisasikan menjadi penerimaan pajak. Pasalnya, proses penghitungan dan penagihan pajak harus mengacu pada undang-undang. Jika melalui proses normal, kantor pajak harus melakukan pemeriksaan.
Jika wajib pajak tidak setuju dengan hasil pemeriksaan itu, mereka dapat mengajukan proses sengketa pajak. Proses ini dimulai dari keberatan ke kantor pajak hingga banding ke Pengadilan Pajak.
Sumber : Harian Kontan Hal. 2 (Jum’at, 11 Oktober 2024)
Leave a Reply