Pekerjaan Berat Genjot Penerimaan Pajak

Pemerintah perlu menyiapkan anggaran jumbo untuk melancarkan sederet program prioritas tahun 2025, seperti makan bergizi gratis, swasembada pangan, membangun 3 juta rumah hingga membuka lapangan pekerjaan. Untuk memenuhi program itu, pemerintah mesti menggenjot penerimaan, terutama dari setoran perpajakan.

Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun depan mencapai Rp 2.189,3 triliun. Angka tersebut meningkat 13,9% dibandingkan dengan outlook 2024 yang senilai Rp 1.921,9 triliun.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti mengatakan pemerintah berupaya meningkatkan pendapatan baik pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk mendukung program strategis Presiden Prabowo Subianto.

Upaya yang ditempuh antara lain mempercepat reformasi tata kelola perpajakan. Bukan hanya itu, pemerintah akan mencegah kebocoran pendapatan negara, khususnya pajak di bidang sumber daya alam (SDA) dan komoditas bahan mentah. “Meningkatkan pendapatan negara untuk mendukung pemerintah dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia baik kesehatan, pendidikan, sains dan teknologi,” ujar Nufransa di acara diskusi bertajuk Arah Kebijakan Perpajakan di Era Pemerintahan Kabinet Merah Putih, kemarin.

Di sisi lain, pemerintah akan memacu ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan bagi dunia usaha untuk meningkatkan daya saing dan investasi di sektor riil. Sebelumnya, adik Presiden Prabowo yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan bahwa ada sekitar 300 pengusaha nakal pengemplang pajak di sektor sawit. Hal itu merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Mereka, menurut Hashim, tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) hingga tidak memiliki rekening di Indonesia.
Redesain perpajakan

Founder DDTC, Darussalam mengatakan, saat ini sistem perpajakan di Indonesia menghadapi dua permasalahan. Pertama, rendahnya tax ratio atau rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Masalah menjadi isu bertahun-tahun tanpa ada peningkatan signifikan, dengan kisaran tax ratio 9%-12% selama lebih dari satu dekade.

Angka ini di bawah rata-rata negara ASEAN maupun anggota OECD. Padahal IMF menyarankan setidaknya butuh tax ratio 15% untuk dapat menopang pembangunan.

Problem kedua adalah rendahnya nilai tax buoyancy Indonesia yang hanya 0,88% dalam kurun 2010-2019. Тах buoyancy adalah perbandingan antara pertumbuhan penerimaan pajak dan volume ekonomi atau PDB. Rendahnya angka tersebut menandakan Indonesia tidak mampu mengoptimalkan potensi pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Darussalam mencontohkan,sektor pertanian berkontribusi 13,02% terhadap PDB, namun sumbangan pajaknya di bawah 3%. Kondisi ini menunjukkan ketidakseimbangan dan perlu reformasi struktural dalam penerimaan pajak.

Untuk menyelesaikan dua masalah itu, Darussalam me-nyarankan pemerintah meredesain kebijakan perpajakan. Dia pun mengusulkan agar struktur pajak di Indonesia lebih berfokus pada penerimaan pajak penghasilan perorangan. Kondisi itu selaras dengan praktik perpajakan di negara OECD.

Sumber : Harian Kontan, Rabu, 13 November 2024 (Hal. 2)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only