Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menyarankan pemerintah untuk merevisi kebijakan insentif pajak agar lebih berbasis kinerja daripada sektor prioritas.
Hal itu bertujuan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah koreksi target dari Dana Moneter Internasional (IMF).
“Saya kira salah satu oleh-oleh negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) adalah reformasi perpajakan, untuk menjadi lebih agresif dan tepat sasaran menjadi penting. Tax holiday lebih selektif, dengan pendekatan berbasis pada kinerja, bukan pada sektor prioritas formalitas,” kata Rizal dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin.
Di sisi lain, dia juga mendorong optimalisasi kebijakan investasi, salah satunya melalui pelaksanaan sistem OSS (Online Single Submission).
Meski potensi pasar Indonesia besar, gap antara desain kebijakan dan implementasi di lapangan masih sering terjadi, sehingga daya tarik investasi belum optimal.
“Para investor itu tidak hanya butuh kemudahan atau ‘karpet merah’, tapi yang lebih penting adalah kepastian bisnis dan stabilitas kebijakan daripada berbagai insentif,” ujar dia.
Selain investasi, Rizal juga menyoroti konsumsi berkualitas melalui peningkatan upah riil dan penguatan program perlindungan sosial yang adaptif.
Perbaikan itu utamanya perlu menyasar mekanisme penetapan upah, pelatihan tenaga kerja, dan efektivitas bantuan sosial yang menyasar kelompok rentan tanpa mendistorsi pasar kerja.
Perbaikan ini, kata Rizal, bisa memberikan dampak jangka pendek maupun menengah.
Rekomendasi berikutnya terkait penguatan sektor keuangan domestik dan perluasan pembiayaan inklusif.
Perbankan dinilai perlu memperbesar pembiayaan ke sektor produktif seperti UMKM dan startup berbasis teknologi, sekaligus memperluas instrumen pembiayaan jangka panjang seperti obligasi hijau dan sukuk wakaf linked projects.
Seiring dengan itu, stabilitas makroekonomi perlu dijaga, di mana pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) harus tetap prudent dalam menjaga inflasi, stabilitas nilai tukar, dan defisit fiskal. Terlebih, di tengah ketidakpastian global dan potensi lanjutan ketegangan perdagangan internasional.
Stabilitas harga pangan harus menjadi agenda utama untuk menjaga konsumsi dan daya beli masyarakat.
Rizal juga menyarankan pemerintah untuk berfokus pada reindustrialisasi berbasis rantai nilai (value chain), bukan sekadar melakukan hilirisasi komoditas primer.
Pembangunan ekosistem industri yang berbasis teknologi menengah hingga tinggi, seperti semikonduktor dan baterai kendaraan listrik, dianggap perlu menjadi prioritas utama.
Meski terdapat dinamika dalam perdagangan global, Rizal meyakini peluang bagi Indonesia untuk mendorong sektor ini masih sangat terbuka.
Sebagai informasi, IMF memperkirakan negara-negara dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap perdagangan internasional akan mengalami dampak lebih besar, seiring dengan dinamika kebijakan tarif resiprokal yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Hal itu yang melandasi IMF mengoreksi proyeksi pertumbuhan Indonesia sebesar 0,4 persen menjadi 4,7 persen.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia tetap mengambil langkah-langkah responsif, termasuk bernegosiasi aktif dengan AS terkait tarif resiprokal serta menyusun langkah deregulasi untuk meningkatkan potensi pertumbuhan jangka panjang.
Sumber : antaranews.com
Leave a Reply