Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak kii makin memaksimalkan akal imitasi (AI). Terutama, untuk mendeteksi ketidaksesuaian antara data perpajakan dengan aktivitas di media sosial.
Direktur Jendral (Dirjen) Pajak Kementrian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa pengawasan media sosial bukan hal baru. Namun kini dilakukan dengan pendekatan yang lebih canggih melalui pemanfaatan machine learning.
“Media sosial memang informasi juga. Informasi untuk melihat diskrepansi, misalnya siapa tahu ada aset yang belum dilaporkan, yang beda dengan SPT (Surat Pemberitahuan), beda dengan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelanggara Negara) gitu,” ujar Bimo belum lama ini.
Menurutnya, Ditjen Pajak telah sejak lama memantau media sosial sebagai sumber informasi pelengkap. Namun kini dengan bantuan AI, analisis mendalam memungkinkan dilakukan dan lebih efesien.
Dengan melatih model AI berbasis data historis SPT selama lima hingga 10 tahun terakhir, Ditjen Pajak dapat mengenali pola-pola yang tidak biasa atau menyimpang (irregularities) yang bisa mengindikasikan potensi pelanggaran pajak.
“Jadi prinsip dasarnya seperti mesin learning. Dari pola data yang ada, SPT yang disampaikan lima hingga 10 tahun terakhir, kami lihat polanya seperti apa, kami lihat aktivitas media sosialnya seperti apa, kala orang pribadi,” tambah Bimo.
Direktur Perpajakan I Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama bilang, pihaknya telah menerapkan teknik crawling atau penelusuran data di media sosial untuk melihat potensi pajak dari aktivitas digital. “Kalau suka pamer mobil di media sosial, walaupun mobilnya tidak bagus, pasti diamati oleh teman-teman (petugas) pajak,” ujar Hestu.
Ia menambahkan, meski belum ada regulasi khusus untuk pemungutan langsung dari aktivitas media sosial, namun Ditjen Pajak sudah aktif mengawasi sektor ini.
Pengamat Pajak Centre for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai langkah Ditjen Pajak tersebut relevan, mengingat aktivitas ekonomi semakin bergeser ke ranah digital, termasuk media sosial. Salah satu skema terbaru yang marak dalam satu hingga dua tahun terakhir adalah pengguna affiliator, yakni individu yang mempromosikan produk dan mendapata komisi dari penjualan.
Nah, skema ini lebih sulit diawasi karena melibatkan orang pribadi. “Sebab itu pemerintahperlu cari cara baru untuk melakukan pengawasan,” kata Fajry kepada Kontan, Kamis (17/7).
Ia menekankan, penggunaan teknologi mejadi kebutuhan mutlak agar pengawasan ekonomi digital bisa adil dan efesien. Meski begitu, Ia juga menegaskan pentingnya kualitas data sebagai ladasan pengawasan.
Sumber : Harian Kontan, Jumat 18 Juli 2025 (Hal.2)
Leave a Reply