Kemenkeu Pede Bisa Tingkatkan Tax Ratio Indonesia ke 15%

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki ruang cukup besar untuk meningkatkan tax ratio atau rasio perpajakan hingga mencapai level berkelanjutan yang direkomendasikan lembaga internasional.

Menurut kajian Dana Moneter Internasional (IMF), tipping point untuk tax ratio berada di kisaran 15% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan perhitungan resmi, tax ratio Indonesia tahun lalu berada di angka 10,2%.

“Kalau kajiannya IMF bilang, ada tipping point, sekitar 15 persen itu sebagai sebuah sustainable level of text ratio. Jadi kita masih punya gap. Tapi jangan bandingin 10 persen dengan 15 persen,” kata Yon dalam diskusi Celios, di kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

Namun, Yon menyebut angka ini belum mencerminkan kapasitas penerimaan negara yang sebenarnya. Jika memasukkan komponen seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA, pajak daerah, dan iuran jaminan sosial, maka tax ratio Indonesia sesungguhnya berada di kisaran 12–13,5%.

“Sebenarnya, tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatifly sekitar 13-13,5 persen. Rata-rata setiap tahun, antaranya 12-13 persen,” ujarnya.

Dengan demikian, gap menuju target 15% hanya sekitar 2–3 poin persentase, jauh lebih kecil dari yang sering diasumsikan publik. Menurutnya, jangan bandingkan angka 10% dengan target 15%, karena itu membuat Indonesia seakan terlihat tertinggal jauh, yang benar adalah membandingkan angka 12–13% dengan 15%.

Ia menegaskan, gap yang relatif kecil ini menunjukkan bahwa target peningkatan tax ratio bukanlah hal yang mustahil, asal ada langkah konkret dan konsisten.

Strategi Meningkatkan Tax Ratio

Yon memaparkan beberapa langkah strategis untuk mendorong tax ratio ke level 15%. Salah satunya pemerintah dapat memaksimalkan potensi pajak daerah yang setiap tahun menyumbang sekitar 1–1,5% dari PDB.

Pajak daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta pajak hiburan, jika dihitung secara komprehensif, bisa memperkuat posisi tax ratio nasional.

“Tax ratio katanya kita itu kadang-kadang menjadi mengecil, bukan karena dia kecil, tapi karena ada beberapa jenis pajak yang kemudian dialokasikan ke daerah, menjadi bagiannya daerah. Nah, kemudian misalnya lagi pajak-pajak untuk hiburan, BPHTB, barang dan jenis tertentu, hotel dan sebagainya, itu pajak,” ujarnya.

Perbandingan Internasional dan Peluang Indonesia

Dalam konteks global, Yon menjelaskan bahwa Indonesia berada di posisi yang tidak terlalu jauh tertinggal dari negara-negara berkembang lainnya. Malaysia memiliki tax ratio di kisaran 12 – 13%, sedangkan Vietnam berada di level 17 – 18%, sebagian besar karena kontribusi social security yang lebih tinggi.

Negara maju seperti Swedia bahkan memiliki tax ratio hingga 40 – 50%, dengan lebih dari 20% berasal dari iuran jaminan sosial. Meski begitu, Yon menilai perbandingan langsung dengan negara maju tidak relevan karena perbedaan struktur ekonomi dan kebijakan fiskal.

“Tapi negara-negara yang berkembang, ya memang kisarannya di bawah 15%, karena masih ada ruang untuk perbaikan. Kalau ada yang melonjak lebih dari situ, kita cek biasanya ada social security contribution-nya yang wajib,” pungkasnya.

Sumber : Liputan6.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only