Rasio Pajak Indonesia Tak Kalah Dibanding Negara Lain, Ini Buktinya

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menjelaskan bahwa posisi tax ratio Indonesia sebenarnya tidak terlalu tertinggal dibanding negara tetangga jika dihitung secara komprehensif.

Menurutnya, perhitungan yang hanya mengandalkan penerimaan pajak pusat membuat angka Indonesia terlihat kecil, yakni sekitar 10,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Jadi, tax ratio katanya kita itu kadang-kadang menjadi mengecil, bukan karena dia kecil, tapi karena ada beberapa jenis pajak yang kemudian dialokasikan ke daerah, menjadi bagiannya daerah,” kata Yon dalam diskusi bersama Celios, di Kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

Namun, bila memasukkan komponen lain seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA, pajak daerah, dan iuran jaminan sosial, tax ratio Indonesia bisa mencapai 12–13,5%.

“Sebenarnya, tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatifly sekitar 13-13,5 persen. Rata-rata setiap tahun, antaranya 12-13 persen,” ujarnya.

Jangan Bandingkan Tax Ratio RI dengan Negara Lain

Yon menekankan bahwa publik sering salah persepsi ketika membandingkan tax ratio Indonesia dengan negara lain. Ia menegaskan, jangan membandingkan angka 10% dengan negara lain yang perhitungannya memasukkan semua jenis pungutan.

Ia menambahkan, definisi dan metode perhitungan yang berbeda di tiap negara membuat angka tax ratio tidak bisa dilihat secara mentah tanpa memahami komponennya.

“Kalau kita lihat dengan negara-negara tetangga, yang kita nggak terlalu ketinggalan juga sih, dibandingkan dengan negara beberapa yang di sebelah-sebelah kita. Malaysia juga sekitar angka 12-13 persen,” jelasnya.

Alasan Vietnam Bisa Lebih Tinggi Tax Rationya

Yon menyebut, salah satu negara yang terlihat memiliki tax ratio lebih tinggi adalah Vietnam, dengan kisaran 17–18%. Namun, menurut Yon, sebagian besar selisih itu berasal dari besarnya kontribusi social security contribution atau iuran jaminan sosial.

“Kenapa Vietnam berbeda. Vietnam itu 17-18%. Tapi kalau kita bedah di dalam OECD reportnya, 5,4% itu adalah social security contribution,” ujarnya.

Fenomena serupa juga terjadi di banyak negara maju, di mana social security contribution menyumbang porsi besar. Di Swedia misalnya, iuran jaminan sosial bisa mencapai 20% dari PDB, mendorong tax ratio total hingga 40–50%.

Efisiensi Pajak Indonesia Terbaik Dibanding China dan India

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menyatakan bahwa kinerja efisiensi instansinya terus menunjukkan perbaikan. Hal ini terlihat dari rasio biaya pemungutan pajak (cost of tax collection ratio) yang terus menurun dalam lima tahun terakhir.

“Kita bisa lihat dari rasio anggaran Direktorat Jenderal Pajak terhadap penerimaan pajak sebagai tolok ukur kinerja kami. Ini cost of tax collection ratio kami, ini konsistenly kita bisa mengefisienkan diri. Jadi, dibanding 5 tahun terakhir kami konsisten turun,” kata Bimo dalam RDP dengan Komisi XI DPR RI, Senin (14/7/2025).

Menurut Bimo, jika dibandingkan dengan otoritas perpajakan di Asia dan negara tetangga di ASEAN, posisi Indonesia tergolong kompetitif. Bahkan, rasio efisiensi Indonesia disebut lebih baik dibandingkan Filipina, India, maupun China.

“Posisinya kalau kita benchmark dengan kinerja otoritas perpajakan di Asia maupun di negara tetangga kita di ASEAN gitu ya Ini memang kita pada posisi yang relatif sudah bisa lebih efisien dibanding Filipina, dibanding India, dibanding China,” ujar Bimo.

Meski demikian, ia mengakui bahwa Indonesia masih tertinggal dibanding negara dengan sistem perpajakan yang sudah matang seperti Australia dan Amerika Serikat.

Kinerja Pajak Sempat Tertekan

Adapun DJP mencatat rasio biaya pemungutan pajak saat ini berada di bawah 1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Komponen utama dari rasio ini antara lain berasal dari gaji dan tunjangan kinerja pegawai pajak, serta belanja barang dan modal.

Dengan efisiensi yang meningkat, Ditjen Pajak berharap kepercayaan publik juga akan semakin kuat. Hal ini menjadi fondasi penting dalam memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak di masa depan.

Dalam paparannya, Bimo mengungkapkan bahwa kinerja penerimaan pajak mengalami tren fluktuatif sepanjang 2025. Ia mencatat bahwa pada bulan Mei, penerimaan neto sempat mengalami kontraksi cukup dalam, yaitu minus 7,4 persen secara tahunan (year on year). Penurunan ini terjadi di tengah pelemahan ekonomi nasional.

Namun, kondisi mulai membaik pada bulan Juni. Bimo menyebut adanya rebound penerimaan, yang menunjukkan sinyal positif.

“Mei kami sempat terpuruk minus 7,4%, dari sisi penerimaan neto tahunan year on year Juni kami bisa rebound dan mudah-mudahan ini signal yang positif untuk terus rebound sampai akhir Desember nanti,” ujarnya.

Sumber : Liputan6.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only