JAKARTA. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mewanti-wanti pengusaha agar tidak mengakali insentif pajak penghasilan (PPh) final UMKM 0,5% dengan praktik “arisan faktur”.
Airlangga menjelaskan bahwa pemerintah memutuskan untuk memperpanjang kebijakan PPh final sebesar 0,5% untuk UMKM dengan omzet Rp400 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun hingga 2029.
Kendati demikian, politisi Partai Golkar itu mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak disalahgunakan karena pemerintah sudah memahami praktik-praktik untuk mengakali kebijakan PPh final UMKM 0,5%.
“Jangan buka toko lagi, yang omzetnya sudah Rp5 miliar diturunin ke toko tetangga, tukar-menukar faktur. Nah kita sudah agak paham, bagaimana di pasar itu berlaku arisan faktur. Nah ini juga harus kita jaga,” ujar Airlangga dalam acara Investor Daily Summit 2025 di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Perlu Regulasi Antipenghindaran Pajak
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengaku bahwa secara prinsip perpanjangan kebijakan tarif PPh final UMKM 0,5% itu memang baik. Menurutnya, baik UMKM maupun perusahaan besar memang belum siap dibebankan tarif pajak lebih besar pada saat daya beli masyarakat sedang menurun.
Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa kebijakan tersebut juga berpotensi memunculkan moral hazard di kalangan pengusaha. Pengusaha yang tidak bertanggung jawab, sambungnya, bisa memanfaatkan kebijakan itu untuk melakukan penghindaran pajak.
Aviliani mencontohkan, ada praktik memecah perusahaan agar omzet masing-masing tetap berada di bawah batas PPh final UMKM 0,5% yaitu Rp4,8 miliar sehingga tetap bisa menikmati tarif pajak rendah.
“Kita setuju UMKM itu diperhatikan, diberikan pajak yang spesial gitu, tetapi ya jangan sampai dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang seharusnya tidak seperti UMKM gitu lah,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (17/9/2024).
Oleh sebab itu, wakil ketua umum Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini menekankan pentingnya penguatan aturan dan pengawasan kebijakan tarif PPh final UMKM 0,5% tersebut.
Aviliani melihat bahwa Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bisa mengoptimalkan pengawasan sistem inti administrasi perpajakan alias Coretax. Menurutnya, Coretax bisa mengidentifikasi wajib pajak yang layak atau sudah tidak layak mendapatkan tarif PPh final UMKM 0,5% lewat pemusatan data.
Sementara itu, Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengungkapkan memang ada fenomena pelaku usaha yang sengaja memecah perusahaan agar omzet tetap di bawah ambang batas Rp4,8 miliar. Dengan begitu, mereka bisa terus membayar PPh final UMKM sebesar 0,5%.
“Kita tidak bisa pungkiri kalau ada pelaku usaha yang memanfaatkan mekanisme tersebut untuk mengurangi beban pajaknya,” ujar Fajry kepada Bisnis, Senin (15/9/2025).
Dia pun mengusulkan dua opsi perbaikan kebijakan. Pertama, menurunkan ambang batas omzet penerima tarif PPh final agar insentif hanya menyasar usaha kecil dan mikro sehingga tidak ada dorongan untuk memecah usaha.
Kedua, memanfaatkan ketentuan General Anti-Tax Avoidance Rules (GAAR) dalam Undang-Undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk mencegah praktik penghindaran pajak.
“Namun, perlu aturan turunan atau teknis dari ketentuan tersebut. Di sisi lain, pelaku usaha yang betul-betul UMKM bisa tetap mendapatkan insentif pajak dari pemerintah,” ujar Fajry.
Sumber : bisnis.com

WA only
Leave a Reply