Regulasi Insentif Fiskal Maskapai Segera Dirilis

JAKARTA — Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memastikan, pemerintah akan ikut berkontribusi dalam berbagi beban dalam rangka penurunan harga tiket angkutan udara. Kontribusi tersebut adalah skema insentif fiskal terkait operasional penerbangan.

Pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2015 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menjelaskan, pemerintah sudah menyelesaikan skema insentif fiskal tersebut. Intinya, revisi PP akan mengatur pembebasan PPN terhadap impor alat angkutan tertentu dan jasa terkait.

PP ini akan segera dirilis dalam satu hingga dua hari ke depan. “Artinya, posisi sudah disetujui Presiden. Tinggal proses administratifnya,” ujarnya di kantornya, Jakarta, Rabu (10/7).

Pada Juni, Susiwijono menjelaskan, aspek yang akan diberikan insentif fiskal sudah melalui proses pertimbangan. Termasuk kontribusinya yang besar terhadap komponen biaya penerbangan.

Ia menyebutkan, leasing memakan 20 sampai 24 persen, sementara sumber daya manusia (SDM) pengelolaan 14 hingga 16 persen dan perbaikan spare part 16 sampai 20 persen.

Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Politik, Hukum dan Keamanan Elen Setiadi menuturkan, selain insentif fiskal, pemerintah juga berkontribusi melalui Kementerian Perhubungan. Sebab, tidak semua bandara bersifat komersil.

“Ada bandara yang dikelola Kemenhub melalui unit teknisnya dan mereka akan memberikan diskon yang sama dengan AP 1 dan AP 2,” tuturnya.

Ini sebagai bukti bahwa pemerintah bersama pihak terkait industri penerbangan bersama-sama berbagi beban atau sharing the pain. Tujuannya, memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap penerbangan rendah sekaligus menjaga keberlangsungan industri penerbangan domestik.

Komponen biaya yang akan diturunkan adalah memiliki hubungan langsung dengan operasional penerbangan. Misalnya, Pertamina yang akan menurunkan biaya avtur, tepatnya, angka actual fuel burn. atau besaran avtur yang digelontorkan saat jam tertentu.

Sementara itu, pihak AirNav Indonesia akan memberlakukan terhadap dua jasa yang terkait langsung, yakni enroute charge dan terminal navigation charge. Pihak Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II juga akan menurunkan parking fee ketika departure serta landing fee saat arrival.

Sedangkan pihak maskapai diperkirakan akan menanggung beban paling tinggi, yakni 50 hingga 70 persen.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menjelaskan, kebijakan ini dilakukan agar maskapai penerbangan Indonesia dapat semakin kompetitif dengan maskapai penerbangan asing. Rencana pembebasan PPN sudah dibahas sejak beberapa waktu lalu.

“Tapi, kebetulan timingnya pas dengan urusan harga tiket,” ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (21/6).

Suahasil menjelaskan, saat ini revisi peraturan sudah memasuki masa akhir penetapan. Apabila sudah ditetapkan, diharapkan kebijakan mampu mengurangi struktur biaya dari maskapai.

Selama ini, Suahasil menjelaskan, sudah ada insentif pajak yang diberikan pemerintah untuk keperluan maskapai. Di antaranya pembebasan PPN atas pembelian pesawat, biaya masuk atas barang dan bahan guna perbaikan atau pemeliharaan pesawat terbang. Ketentuan ini sudah ada di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2016 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Keberadaan revisi PP Nomor 69 Tahun 2015 sendiri akan mengacu pada praktik perpajakan internasional yang baik, yakni jasa pesawat dari luar negeri tidak dikenakan PPN. Beberapa negara sudah menerapkannya. “Apabila kita tetap kenakan (PPN), maka airlines kita jadi tidak kompetitif,” ujar Suahasil.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only