PPh Final Dipukul Rata, Hantu ‘Shortfall’ Makin Seram

Pemerintah Indonesia kini tengah menghadapi risiko kekurangan pendapatan pajak (shortfall). 

Dalam prospektus realisasi anggaran tahun 2019, Kementerian Keuangan memprediksi realisasi penerimaan pajak (tidak termasuk kepabeanan dan cukai) hanya akan mencapai Rp 1.437,5 triliun atau 91% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ada shortfall Rp 140 triliun.

Pos penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), yang harusnya menjadi komponen penerimaan pajak terbesar diprediksi hanya akan terealisasi sebesar Rp 818,5 triliun atau 92% dari target APBN.

Lesunya kinerja penerimaan pajak tahun ini juga sudah terlihat. Sepanjang semester I-2019, realisasi penerimaan pajak baru sebesar Rp 603,3 triliun atau 38% dari target APBN. Angka pertumbuhan penerimaan pajak juga hanya 3,75%.

Sementara pada semester I-2018 (tahun lalu) realisasi penerimaan pajak sudah menyentuh level 40,84% dari target APBN dan mampu tumbuh hingga 13,99%.

Ditilik lebih dalam, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) di sepanjang Januari-Juni 2019 sebesar Rp 212,32 triliun atau tumbuh negatif 2,66%.

Padahal di periode yang sama tahun sebelumnya, angka pertumbuhannya bisa mencapai 13,63%.

Adapun realisasi PPh Migas semester I-2019 hanya sebesar Rp 30,16 triliun atau tumbuh sangat tipis sebesar 0,31%. Sebagai perbandingan, di semester I-2018, pertumbuhan PPh migas mencapai 9,31%.

Rendahnya realisasi PPh Migas dipengaruhi harga minyak mentah dunia. Tahun 2018, rata-rata harga minyak mentah Brent mencapai US$ 71,67/barel, lebih tinggi 30,9% dibanding rata-rata tahun 2017 yang sebesar US$ 54,76.

Sedangkan sepanjang tahun berjalan 2019 hingga hari Senin ( 22/7/2019), rata-rata harga Brent baru sebesar US$ 65,87/barel.

Maka dari itu, pemerintah kini menghadapi risiko pelebaran shortfall dibanding tahun lalu. Tahun 2018, penerimaan pajak tercatat hanya 92,24% dari target APBN.

Menurut Wahyu Nuryanto, Executive Director MUC TAX Research Institute, faktor lain yang bisa menyebabkan pelebaran shortfall adalah berbagai kemudahan dan insentif yang diberikan oleh pemerintah. Contohnya adalah kemudahan dalam pemberian restitusi pendahuluan.

Sebagai informasi, restitusi adalah pengembalian atas lebih bayar pajak.

Selain itu, pemerintah baru-baru ini mencabut ketentuan perpajakan bagi wajib pajak tertentu melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-14/PJ/2019.

Dengan demikian, seluruh wajib pajak yang berprofesi sebagai pengecer dengan omzet kurang dari Rp 4,8 miliar/tahun hanya perlu membayar pajak (PPh Final) 0,5%.

Sebelumnya, ada beberapa wajib pajak yang dikenakan tarif 0,75%.

Penurunan jumlah pajak ini tentu akan mempengaruhi kinerja PPh. Sebagai gambaran realisasi PPh Final sepanjang tahun 2018 adalah sebesar 115,46 triliun atau 17% dari realisasi total PPh Non-Migas yang sebesar Rp 675,16 triliun.

Sumber : CNBC Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only