Objek PPh Diperluas

JAKARTA — Pemerintah akan memperluas objek pajak penghasilan dari 19 menjadi 25 objek pajak. Sementara itu, tarif pajak penghasilan badan atau korporasi akan diturunkan menjadi 20% dari sebelumnya 25%.

Rencana perluasan objek pajak dan penurunan tarif pajak penghasilan itu tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang diperoleh Bisnis. Ini merupakan revisi UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan.

Beberapa tambahan objek pajak penghasilan yang rencananya dimasukkan dalam beleid pajak korporasi itu mencakup harta warisan dan harta hibah.

Objek pajak penghasilan lain adalah laba ditahan yang tidak dibagikan dalam bentuk dividen dan tidak diinvestasikan ke dalam sektor riil dalam waktu 2 tahun. Pembayaran premi asuransi kesehatan dan iuran jaminan kesehatan juga akan dijadikan objek pajak penghasilan dalam draf RUU tersebut.

Rancangan UU itu juga mempertegas perlakuan pemajakan terhadap bentuk usaha tetap (BUT) dan transaksi ekonomi digital.

Perlakuan perpajakan bagi BUT diperluas menjadi tiga aspek. Pertama, penghasilan dari usaha atau kegiatan badan usaha dan dari harta yang dimiliki.

Kedua, penghasilan kantor pusat dari aktivitas usaha, penjualan barang, dan pemberian jasa di Indonesia dan dilakukan oleh badan usaha tetap di Indonesia. Ketiga, penghasilan baik berupa penghasilan pasif seperti dividen maupun royalti hingga penghasilan dari transaksi ekonomi digital, sepanjang terdapat hubungan efektif antara badan usaha dengan penghasilan tersebut.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama yang dimintai konfirmasi perihal draf tersebut enggan memberikan komentar.

Dia hanya meminta agar semua pihak menunggu sampai pembahasan revisi UU No. 36/2018 tersebut tuntas. “Ditunggu saja [revisi UU No. 36/2018],” katanya, Selasa (23/7).

Adapun, pada pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Ind rawati sempat menegaskan bahwa pembahasan UU PPh menjadi prioritas pemerintah. Pemerintah, katanya, sedang menyusun RUU Pajak Penghasilan. Selanjutnya, draf itu akan dikonsultasikan dengan masyarakat dan juga dunia usaha.

Sri Mulyani menyebutkan bahwa fokus reformasi pajak ke depan tidak hanya menyangkut tarif. Pasalnya, pemerintah juga menampung isu-isu yang selama ini dekat dengan masyarakat, termasuk ekonomi digital.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menanggapi positif rencana revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Namun, dia mempertanyakan apakah sistem perpajakan yang akan diusung dalam revisi UU Pajak Penghasilan itu mengacu ke sistem global atau teritorial. “Ini [draf RUU Pajak Penghasilan] belum tegas, akan beralih ke world wide [global] atau teritorial,” katanya.

Menurutnya, penentuan skema pajak tersebut akan memiliki implikasi yang lebih besar. Pasalnya, pemilihan terhadap salah satu konsep tersebut bisa mengubah sistem pemajakan penghasilan dari luar negeri misalnya tentang peraturan controlled foreign company (CFC) dan penghasilan dari luar negeri lainnya. “Memang kita harus menentukan [konsep PPh],” tegasnya.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W. Kamdani mengatakan, rencana pemangkasan PPh korporasi akan mendorong aktivitas perekonomian kendati dalam jangka pendek akan menurunkan penerimaan pajak.

“Kebijakan pemotongan PPh badan akan menjadi faktor positif untuk iklim investasi Indonesia karena berdampak perhitungan [pertimbangan] investasi di Indonesia dan negara lain.”

KURANG TEPAT

Sementara itu, pelaku industri asuransi menilai, rencana perluasan objek pajak penghasilan terhadap pembayaran premi asuransi kesehatan dan iuran jaminan kesehatan oleh pemberi kerja kurang tepat.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia Togar Pasaribu menilai, penyebutan premi asuransi dan iuran jaminan kesehatan sebagai penghasilan merupakan pola berpikir yang keliru.

Menurutnya, premi dan iuran itu menjadi kewajiban perusahaan yang sepatutnya diperhitungkan sebagai biaya. Bila mendapatkan risiko, katanya, perusahaan atau pemberi kerja harus membiayai para pekerjanya.

“Ada pola pikir yang terbalik dengan menetapkan premi dan iuran itu sebagai penghasilan yang dikenai pajak,” katanya.

Dody Achmad S. Dalimunthe, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, mengaku bahwa pihaknya belum mengetahui RUU tersebut. Namun, menurutnya, tidak tepat apabila pembayaran premi dikenai pajak.

“Aneh rasanya kalau biaya dikenai pajak. Dan penghasilan seseorang juga sudah dikenakan pajak, kenapa pembayaran premi harus kena pajak lagi?” Pengamat asuransi sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko & Asuransi Hotbonar Sinaga menjelaskan, saat ini industri asuransi masih berada dalam tahap pertumbuhan, sehingga perlu diberikan insentif, bukan disinsentif seperti pajak.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only