Pemerintah belum Berencana Menaikkan Tarif Bea Masuk

Jumlah impor produk elektronik yang tinggi belum membuat pemerintah berencana untuk menaikkan tarif bea masuk (BM) terhadap produk elektronik. Namun, pemerintah tetap mengendalikan impor sektor ini melalui instrumen fiskal yang ada.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, upaya menjaga neraca perdagangan dilakukan dari dua sisi yaitu mendorong ekspor dan mengendalikan impor. Jika melihat neraca perdagangan Juli 2019, maka dari sisi migas mengalami perbaikan yang cukup bagus.

Defisit perdagangan elektronik terlihat terus melebar, dari US$ 6,8 miliar pada 2015 menjadi US$ 11,1 miliar pada 2018, yang menyebabkan defisit neraca perdagangan Indonesia mencatat rekor terburuk sepanjang RI merdeka yakni menembus US$ 8,57 miliar pada tahun lalu.

Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor komputer, barang elektronik, dan optik membengkak dari tahun ke tahun. Bila 2015 impor sebesar US$ 12,8 miliar, pada 2018 menembus US$ 17,3 miliar. Sementara itu, ekspor elektronik Indonesia relatif stagnan. Ekspor tahun lalu hanya sekitar US$ 6,2 miliar, tak banyak beranjak dari 2015 yang sebesar US$ 6 miliar.

Melihat tingginya jumlah impor elektronik, maka pemerintah tetap menaruh perhatian serius untuk sektor ini. Khususnya yang berhubungan dengan strategi pengembangan industri dalam negeri.

Untuk mengendalikan jumlah impor ada beberapa instrumen kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah, yaitu melalui instrumen tarif atau bisa dengan instrumen non tarif. Instrumen tarif bisa dilakukan dengan menaikkan besaran tarif bea masuk, atau besaran tarif pajak dalam rangka impor seperti pajak pertambahan nilai (PPN) impor atau pajak penghasilan (PPh) impor.

“Namun untuk melakukan langkah ini harus dengan kajian mendalam. Biasanya akan dibahas di tim tarif yang ada di Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, serta melibatkan K/L terkait seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian,” ucap Susi ketika ditemui di Kantornya, belum lama ini.

Sementara untuk instrumen non-tarif bisa dijalankan melalui pengaturan kebijakan larangan/pembatasan atau tata niaga impor. Misalnya, dengan mengenakan aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau perizinan impor lain.

“Mengenai impor barang komponen elektronik yang menjadi bahan baku industri elektronik dalam negeri, saya kira pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan dan upaya untuk menurunkan biaya dan percepatan layanan barang impor,” ucap Susi.

Kepala Subdirektorat Informasi dan Komunikasi Ditjen Bea dan Cukai Denny Surjantoro mengatakan dari data yang dimiliki belum terjadi lonjakan impor. Tetapi pihaknya tetap melakukan monitoring secara ketat terhadap fluktuasi yang terjadi. “Jadi memang belum ada pembahasan untuk meningkatkan tarif bea, menaikkan bea masuk,” ucap Denny.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal mengatakan, upaya menaikkan bea masuk terhadap produk impor harus dikaji dengan matang. Jika bea masuk dinaikkan hanya untuk menurunkan jumlah impor, konsekuesinya akan terasa pada harga produk. Saat ingin membeli handphone secara utuh, maka harganya akan menjadi lebih mahal. Kenaikan bea masuk justru malah akan meningkatkan inflasi.

“Kalau yang dikenakan bea masuk adalah bahan baku atau bahan intermediate, berarti biaya produksi industri dalam negeri meningkat, sehingga produk menjadi kurang kompetitif,” ucap Faisal.

Ia mengatakan, peningkatan impor untuk barang-barang elektronik khususnya telepon selular sudah terjadi sejak 2013. Saat itu secara keseluruhan neraca perdagangan mengalami defisit sampai US$ 4,06 miliar.

Melihat tingginya impor saat itu, pemerintah mencanangkan program menambah Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Perusahaan-perusahaan mulai membangun basis produksi dan harus melibatkan bahan baku dari dalam negeri.

“Sehingga yang tadinya hanya mengekspor untuk pasar dalam negeri, kemudian dia mengcourage untuk membuat pabriknya disini,” ucap Faisal.

Menurutnya, setelah 2014, jumlah impor menurun drastis. Tetapi TKDN nya tidak berjalan, padahal industri handphone ini termasuk dalam rantai pasok dunia. Sehingga jumlah impor bahan baku justru meningkat pesat, saat dilihat dari perdagangan nilai defisit tidak jauh berbeda.

“Harus ada kebijakan yang mendukung dia menyerap konten di dalam negeri. Sehingga bukan hanya impor barang jadi yang turun tetapi impor komponennya, dan dilakukan secara konsisten,” ucap Faisal.

Ia mengatakan, penguatan industri hulu dan hilir harus dilakukan untuk mengoptimalkan TKDN. Sebab industri ingin menyerap kualitas TKDN yang diserap di dalam negeri tidak sesuai dengan standar industri. Harus ada pendampingan agar supplier dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan industri.

“Masing-masing harus ada insentifnya, baik supplier maupun perusahaannya. Kebjakannya harus dilakukan secara terintegrasi untuk mendorong peningkatan TKDN,” ucap Faisal.

Sumber: Investor.Id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only