Proyek Strategis Nasional (PSN) dikebut jelang pelantikan Presiden Jokowi periode kedua, terutama di sektor infrastruktur transportasi dan energi. Dipastikan 81 proyek sudah rampung dengan investasi Rp 390 triliun, dari total PSN yang sudah dan akan dibangun senilai Rp 2.860 triliun.
Selama Januari hingga September 2019, pemerintah telah menyelesaikan 19 proyek senilai Rp 7,7 triliun. Ada pula satu program industri pesawat dan 39 proyek lain senilai Rp 621 triliun yang akan masuk tahap konstruksi. Dengan 80,3% PSN telah masuk tahap konstruksi, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas memperkirakan 103 proyek dari total 223 proyek yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN) 2015-2019 selesai hingga akhir tahun.
Selain skema PSN, pemerintah memiliki proyek pembangunan lain, sehingga total investasi sekitar Rp 4.183 triliun. Dari sisi eksekusi, banyak pula proyek-proyek infrastruktur yang mengalami hambatan. Setidaknya ada empat kendala utamanya, yaitu dari aspek persiapan proyek, pengadaan lahan, pembiayaan, dan perizinan.
Lalu, apakah pembangunan infrastruktur yang menelan dana ribuan triliun rupiah itu efektif mendongkrak ekonomi nasional sebagaimana digadang-gadang? Tampaknya, genderangnya yang lebih nyaring terdengar, ketimbang manfaat yang dapat dirasakan selama lima tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Lihat saja yang terjadi di industry baja. Di tengah gemuruhnya pembangunan proyek-proyek infrastruktur, justru industri baja kita tersungkur, disapu makin derasnya banjir impor baja Tiongkok ke pasar dalam negeri. Itulah sebabnya, meski konsumsi baja domestik sepanjang tahun 2009 – 2017 melaju cepat dengan compound annual growth rate (CAGR) 7,9%, pangsa pasar industri dalam negeri justru tergerus. Jika pada 2017, baja impor menguasai 52% (7,1 juta ton) dari total konsumsi baja nasional 13,6 juta ton, tahun berikutnya lebih parah.
Dari total konsumsi baja di Tanah Air yang diperkirakan bertambah menjadi 14,2 juta ton, ironisnya, pangsa pasar impor malah makin mencengkeram jadi 55% (7,7 juta ton) tahun lalu.
Alhasil, kinerja BUMN baja PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terseok-seok dan harus diselamatkan, lewat restrukturisasi utang besarbesaran. Tak hanya itu, Kementerian Perdagangan mencatat, selama lima tahun, total defisit neraca perdagangan baja membengkak tembus US$ 30,2 miliar. Pada 2017 misalnya, defisit mencapai US$ 4,65 miliar, naik dibanding tahun sebelumnya US$ 4,35 miliar.
Artinya, pembangunan infrastruktur bisa saja menghabiskan ribuan triliun anggaran negara yang didanai mayoritas oleh pajak rakyat, namun hasilnya justru industri asing yang menikmati. Industri manufaktur kita pun meredup, dengan pertumbuhan yang dalam beberapa tahun terakhir di bawah laju pertumbuhan ekonomi yang juga turun.
Terjadinya deindustrialisasi ini menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi RI dalam periode pertama pemerintahan Jokowi terperangkap sekitar 5% saja, plus defisit neraca perdagangan membengkak jadi US$ 8,57 miliar tahun lalu, atau rekor terburuk sepanjang sejarah. Rupiah pun terdepresiasi tajam tahun lalu. Untuk itu, program pembangunan infrastruktur ke depan harus difokuskan untuk melengkapi seluruh infrastruktur yang dibutuhkan dalam memacu pembangunan industri manufaktur yang bernilai tambah tinggi, industri substitusi impor, dan yang berorientasi ekspor.
Selain itu, industri yang menyerap banyak tenaga kerja serta menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, termasuk industri pariwisata. Itulah sebabnya, pusat kawasan industry koridor timur Jakarta misalnya — yang meliputi Bekasi, Cikarang, Karawang, Purwakarta, hingga Subang — harus pula dilengkapi dengan tol-tol yang langsung terhubung dengan pelabuhan internasional Patimban di Subang maupun bandara internasional.
Selain didedikasikan khusus untuk kelancaran pergerakan barang dan pekerja dari kawasan industry ke pelabuhan dan sebaliknya, tol ini tarifnya juga harus murah. Di sisi lain, pelabuhan-pelabuhan yang sudah banyak dibangun di luar Jawa harus dikembangkan pula kawasan industri dan industri unggulannya, yang berbasis sumber daya lokal. Pusat kawasan industri baru ini sebaiknya juga terintegrasi dengan pelabuhan dan bandara internasional. Hal yang tak kalah penting, semua perizinan cukup diurus oleh satu tangan otoritas kawasan industri, termasuk izin pembangunan properti untuk kebutuhan hunian pegawai dan keluarganya. Otoritas kawasan industry ini tentunya juga diberi tugas dan target jelas dalam menumbuhkan dan memperkuat struktur industry nasional yang dibutuhkan.
Artinya, antara kewenangan dan tanggung-jawabnya seimbang. Dengan demikian, otoritas khusus ini tidak lagi bisa mempermainkan perizinan atau memperlambatnya, karena juga bakal berimbas target peningkatan investasinya tak tercapai kalau sepi investor.
Selain itu, tentu saja pusat kawasan industri ini dijamin semua kebutuhannya, mulai dari lahan murah yang clear and clean dan bebas banjir, serta ada pasokan listrik, gas, hingga air murah. Kawasan ini dan industri yang dipacu pertumbuhannya juga mendapat fasilitas khusus, seperti pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% menjadi setidaknya sama dengan negara tetangga Singapura, 17%.
Yang tak kalah penting, setiap proyek infrastruktur setidaknya minimal 80% barang dan jasa berasal dari produk dalam negeri. Proyek ini juga sama sekali tidak boleh menggunakan produk impor yang tidak fair, seperti didukung praktik dumping dari Negara mana pun. Dengan fokus membangun kelengkapan infrastruktur pendukung industri hingga perbaikan iklim investasi, maka proyek PSN senilai Rp 2.860 triliun itu tidak perlu mubazir. Dana investasi infrastruktur RPJMN 2020-2024 yang diproyeksikan mencapai Rp 6.400 triliun juga dipastikan mendukung pertumbuhan industry nasional yang kuat, yang menyerap banyak tenaga kerja.
Berikutnya, neraca perdagangan kembali surplus dan defisit transaksi berjalan menipis, sehingga rupiah stabil, kepercayaan investor meningkat, dan pertumbuhan ekonomi melaju cepat.
Sumber : investor.id
Leave a Reply