Pemerintah Kaji Super Deduction Tax untuk Sektor Lain

JAKARTA — Asisten Deputi Ketenagakerjaan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Yulius menuturkan, pemerintah membuka peluang terhadap perubahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 128 Tahun 2019 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Penyelenggaraan Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan, dan/atau Pembelajaran dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu. Khususnya dalam menambah sektor-sektor yang termasuk di dalam lampirannya.

Yulius menjelaskan, pihaknya bahkan sudah menyiapkan tenaga ahli untuk memberikan masukan dan evaluasi terkait pelaksanaan PMK 128/2019. Saran dari pihak industri pun turut dipertimbangkan sebagai bagian dari evaluasi.

“Perbaikan akan kita lakukan dengan berbagai masukan ini,” ujarnya ketika ditemui usai Seminar Program Pemagangan Berkualitas di Jakarta, Selasa (22/10).

Tapi, Yulius memastikan, perbaikan terhadap beleid tersebut tidak akan berjalan dalam hitungan bulan. Meski tidak menyebutkan waktu revisi secara pasti, ia mengatakan bahwa proses evaluasi membutuhkan waktu yang panjang.

Yulius mengakui, PMK 128/2019 mendapatkan kritikan dari sejumlah pihak. Terutama dari pengusaha yang sektornya belum termasuk dalam lampiran beleid tersebut. Salah satunya dari industri alas kaki yang sudah memiliki nilai ekspor hingga 5 miliar dolar AS pada 2018.

Meski tidak dimasukkan dalam regulasi PMK 128/2019, Yulius menyebutkan, insentif terhadap industri alas kaki akan masuk dalam PMK mengenai fasilitas super deduction padat karya. Regulasi ini diprediksi rampung sebelum akhir tahun. “Secepatnya, dalam hitungan sebulan,” tuturnya.

Beleid itu mengatur besaran fasilitas, bidang usaha industri padat karya dan mekanisme pemberian fasilitas. Regulasi ini merupakan satu dari tiga peraturan teknis dan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Dua regulasi lainnya adalah PMK mengenai fasilitas super deduction research and development (penelitian dan pengembangan/ litbang) dan PMK 128/2019.

Kepala Sub Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam (PNBP SDA) Kementerian Keuangan Syarief Ibrahim menuturkan, beleid mengenai litbang masih menghadapi tantangan besar. “Agak sedikit rumit karena kita harus mengawasi agar tidak terjadi moral hazard,” ujarnya.

Moral hazard atau risiko moral yang dimaksud Syarief adalah kemungkinan institusi menyalahgunakan insentif pajak ini. Misal, perusahaan meningkatkan besaran anggaran litbang untuk mendapatkan bebas pajak. Sedangkan, kegiatan litbang yang dilakukan tidak efektif dan tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas SDM Indonesia.

Berdasarkan PP 45/2019, PMK super deduction litbang akan menjelaskan teknis pemberian fasilitas pengurangan pajak penghasilan (PPh) bruto paling tinggi sebesar 300 persen dari biaya litbang bagi wajib pajak dalam negeri. Tapi, mereka harus melakukan kegiatan litbang tertentu di Indonesia.

Dengan kesulitan yang ada, Syarief masih enggan menyebutkan proyeksi penerbitan PMK super deduction litbang. Menurutnya, PMK mengenai insentif padat karya akan terlebih dahulu dirilis. “Akhir tahun diperkirakan selesai, tergantung proses harmonisasi saat ini,” katanya.

Untuk PMK insentif padat karya, Syarief mengatakan, skema yang digunakan adalah tax allowance. Nantinya, WP badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha yang merupakan industri padat karya akan dikenakan pengurangan PPh neto sebesar 60 persen dari penanaman modal berupa aktiva.

Sumber : Republika.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only