Mengukur Keraguan Data Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Stabil 5%

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi sorotan. Sebuah lembaga riset asal Inggris, Capital Economics, menilainya terlalu stagnan. Bahkan perubahannya cenderung kecil, di tengah kondisi ekonomi global yang melambat.

Sepanjang tahun ini, pertumbuhan ekonomi berada di atas 5%. Pada kuartal pertama angkanya di 5,07%. Lalu, triwulan berikutnya menjadi 5,05%. Terakhir, pada kuartal ketiga 2019 berada di level 5,02%.

Yang jadi pertanyaan adalah di saat terjadi pelemahan konsumsi dalam negeri, belanja pemerintah, dan investasi, mengapa penurunannya sangat tipis?

Capital Economics menyebut angka stabil di sekitar 5% selama lima tahun terakhir terlihat mencurigakan. Menurut lembaga itu, seperti dikutip dari situs resminya, pertumbuhan ekonomi Indonesia seharusnya jauh lebih rendah dari angka tersebut.

Dari grafik Databoks berikut ini, angka pertumbuhan tertinggi sejak 2015 terjadi pada kuartal kedua tahun lalu di level 5,27%. Angka terburuknya pada kuartal kedua 2015 di level 4,67%.

Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto membatah data yang dikeluarkan lembaganya mencurigakan. Alasannya, BPS menghitung produk domestik bruto dan semua indikator makro ekonomi secara manual. Bahkan, penghitungannya diawasi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan forum masyarakat statistik.

“Selama lima tahun, kami dapat statement bahwa data PDB akurat,” kata Suhariyanto kepada awak media, Selasa (5/11). “Sekarang betul enggak bahwa kita stable? Tidak juga. Dari 5,17% ke 5,02% kan turunnya tajam.”

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengakui keraguan terhadap data pertumbuhan ekonomi memang terjadi gara-gara laporan Capital Economics. BPS sebaiknya menjelaskan dengan detail terkait komponen konsumsi rumah tangga yang menjadi penyokong utama perekonomian.

Hal itu menyangkut kelas masyarakat mana yang tertekan dan validitas pengambilan datanya. “Dari data penerimaan pajak yang rendah dan anjloknya impor menunjukkan indikasi kelas menengah dan atas menahan belanja,” kata Bhima melalui aplikasi pesan singkat siang tadi.

Kedua kelas masyarakat tersebut sedang mengantisipasi resesi ekonomi, pengejaran pajak yang agresif pasca program tax amnesty, dan kenaikan pajak penghasilan (PPh) impor barang mewah. Sementara, kelas bawah saat ini hanya bergantung dari bantuan sosial alias bansos.

Namun, ada keanehan pada kelas terakhir itu. “Ketika 40% kelas bawah bertahan pada bansos, belanja pemerintah malah turun di kuartal ketiga. Ada yang kurang nyambung,” ucap Bhima.

Terlepas dari hal itu, ia masih percaya BPS adalah lembaga kredibel. Tapi untuk memulihkan kepercayaan publik, perlu ada diskusi terbuka dengan para pakar agar tidak timbul spekulasi negatif di mata publik.

Ilustrasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga 2019 mencapai 5,02%.

Ekonom Muhammad Chatib Basri menjelaskan melalui akun Twitter-nya, angka-angka penyokong pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga memang cenderung melemah dibandingkan triwulan sebelumnya.

Konsumsi rumah tangga turun dari 5,17% ke 5,01%. Kemudian, investasi juga turun dari 5,01% ke 4,21%. Pengeluaran pemerintah melemah paling signifikan dari 8,23% ke 0,98%.

Tapi ekonomi Indonesia masih tertolong berkat ekspor neto atau net export. Pertumbuhan ekspor naik dari minus 1,81% ke 0,02%. Impor anjlok dari minus 6,73% ke minus 8,61%.

“Penurunan impor yang tajam dan ekspor yang stabil membuat net export tumbuh lebih baik di triwulan ketiga,” kata Chatib melalui akun @ChatibBasri. “Akibatnya, pertumbuhan berada di kisaran 5,05%.”

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengakui saat ini hampir semua faktor pendukung pertumbuhan melambat. Namun, secara keseluruhan angkanya masih sesuai dengan hitungannya.

Memang ada perbedaan, seperti konsumsi yang ia perkirakan turun lebih besar, sementara investasi masih tinggi. “Tapi ternyata menurut BPS sebaliknya. Secara keseluruhan (hitungan BPS) masih oke,” ucap Pieter.

PR Pemerintahan Jokowi untuk Jaga Pertumbuhan Ekonomi

Terlepas dari masalah hitung-menghitung itu, perlambatan ekonomi global jelas sudah memukul Indonesia. Hal ini perlu diantisipasi kalau tak mau terjerumus ke ambang resesi. Bhima menilai pemerintah harus menjaga konsumsi rumah tangga.

Pemerintah perlu memberikan relaksasi pajak kepada kelas menengah dan atas agar dapat meningkatkan konsumsi. Kinerja pertanian dan industri manufaktur yang melambat harus segera diatasi dengan berbagai stimulus. Tujuannya, supaya daya beli masyarakat kelas bawah pun tetap terjaga.

Untuk peningkatan investasi dalam negeri, kuncinya adalah reformasi birokrasi, perizinan, dan kenaikan indeks daya saing. Hal ini mengingat indeks daya saing Indonesia anjlok ke posisi 50 besar dunia. “Ini menandakan ada yang perlu diperbaiki segera,” ucap Bhima.

Terakhir, soal ekspor, seharusnya saat ini menjadi peluang bagi Indonesia di saat kinerja industri Tiongkok melemah. Tapi, lagi-lagi, ada kendala yang cukup substansial. Pemerintah perlu memperbaiki hambatan birokrasi dan melepaskan diri dari ketergantungan ekspor komoditas karena harganya sedang rendah.

Kenaikan impor barang konsumsi, terutama jelang Natal dan tahun baru, juga harus diwaspadai. “Kalau impor tak dibatasi, imbasnya pertumbuhan ekonomi akan terkontraksi,” katanya.

Pekerjaan rumah terbesar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini adalah menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap di angka 5% sebelum 2019 berakhir. Kalau di bawah itu, angka kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat.

Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2019 mencapai 5,28% atau sekitar 7,05 juta orang. Angka ini sedikit lebih baik dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya di 5,34%. Namun, kalau dihitung secara jumlah, terjadi penambahan 50 ribu orang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui perekonomian dunia saat ini mengalami tekanan cukup berat. Pertumbuhannya kemungkinan hanya 3%. Sektor perdagangan mengalami pukulan telak karena perang dagang negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, Cina, dan Eropa.

Volume perdagangan dunia tahun ini diperkirakan hanya naik 1,1%. “Risiko global yang perlu kita waspadai adalah perang dagang,” ucap Sri saat rapat dengan Komisi XI DPR, di Jakarta, Senin lalu. Meskipun negosiasi antar negara-negara yang berseteru itu terus berlangsung, ketidakpastian global justru semakin besar.

Ia meyakini kondisi ekonomi domestik masih relatif stabil. Ia membandingkan angka pertumbuhan ekonomi Singapura yang negatif, bahkan hanya 0,1%. Lalu, AS yang juga mengalami penurunan. Jerman bahkan pertumbuhannya hanya 0,4%. Tiongkok yang biasanya sanggup mencapai 7%, kini hanya 5,5%.

Eropa dan Jepang ikut terpengaruh. Begitu pula India, Thailand, dan Jepang. “Jadi di berbagai belahan dunia, pertumbuhan ekonomi mengalami pelemahan. Dan itulah yang perlu kita waspadai,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Sumber: katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only