Strategi Mengamankan Pajak Netflix

Akhir-akhir ini, Netflix sering disebut-sebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pasalnya, perusahaan digital ini memperoleh banyak penghasilan dari pelanggannya di Indonesia tapi pajak yang dibayarkan nol besar. Netflix sendiri adalah penyedia layanan media streaming digital untuk menonton film dan televisi yang berkantor pusat di Los Gatos, California.

Tercatat, sampai dengan kuartal III Tahun 2019, sebanyak 158,4 juta sebagai pelanggan berbayar (subscriber) dari Netflix. Dari jumlah tersebut, Netflix berhasil meraup 7,4 Miliar dolar AS atau sekitar 103,5 Triliun rupiah pada kuartal III tahun 2019.

Berdasarkan data dari katadata.co.id, pada tahun 2019 pelanggan streaming Netflix di Indonesia diperkirakan mencapai 482.000 pelanggan. Sedangkan pada tahun 2020 nanti, jumlah pelanggan diprediksi akan naik mencapai angka 907.000 pelanggan. Bukan tidak mungkin angka tersebut akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, tingkat penggunaan smartphone aktif di Indonesia, sampai tahun 2018 saja sudah lebih dari 100 Juta orang. Tentu Indonesia menjadi pangsa pasar yang besar untuk Netflix dan perusahaan penyedia layanan digital lain.

Harga langganan paket Netflix per bulan di Indonesia dibanderol dengan harga Rp109.000 per bulan untuk kulitas gambar standar dan Rp169.000 per bulan untuk kualitas gambar High Definition (HD). Jika di asumsikan pelanggan mengambil paket terendah saja, terdapat sejumlah 98 Miliar rupiah uang dari Indonesia mengalir ke Netflix setiap bulan. Dan ajaibnya, sampai saat ini uang tersebut belum dapat dipajaki.

Dalam aturan perpajakan sekarang ini, laba suatu perusahaan luar negeri dapat dikenakan pajak di Indonesia jika memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Syarat untuk otoritas pajak dapat menetapkan perusahaan digital seperti Netflix untuk menjadi BUT diatur dalam UU Nomor 38 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Dalam UU tersebut, setidaknya ada 4 elemen dasar yang harus dipenuhi yaitu, (a) adanya suatu tempat usaha, (b) bersifat permanen, (c) digunakan oleh Subyek pajak Luar Negeri, (d) untuk menjalankan usaha atau aktivitasnya. Artinya, peraturan ini masih mempunyai paradigma (physical presence) yaitu perusahaan luar negeri haruslah memiliki tempat usaha pada lokasi spesifik tertentu di wilayah geografis indonesia yang bersifat permanen seperti pabrik, bengkel, gudang, gedung kantor atau peralatan elektronik seperti server.

Namun, dalam perkembangan teknologi saat ini, perusahaan yang menyediakan layanan digital tidak lagi membutuhkan kantor, gudang atau server di setiap negara untuk dapat menjalankan usahanya. Netflix dimungkinkan melayani pelanggannya di Indonesia lewat server nya di Amerika tanpa harus membangun server atau kantor di Indonesia.

Kendatipun Netflix ternyata mempunyai server di Indonesia, otoritas pajak akan mengalami kendala untuk menemukan dan membuktikan bahwa server tersebut milik Netflix dan digunakan untuk kegaiatan usahanya. Akhirnya, sampai saat ini pun, perusahaan digital seperti Netflix dan Spotify sulit untuk dipajaki di Indonesia. Padahal secara substansi ekonomi, Netflix telah secara nyata melakukan kegiatan usaha di Indonesia.

Permasalahan seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain pun mengalami tantangan yang serupa dalam upaya memajaki perusahaan-perusahaan digital ini. Pada pertemuan negara-negara G20 di Fukuoka, Jepang, Juni 2019, salah satu pembahasan adalah bagaimana menysusun kerangka baru untuk perpajakan perusahaan digital secara Internasional.

Jika Indonesia masih menggunakan konsep BUT yang sekarang, maka kemungkinan besar akan semakin banyak potensi pajak yang akan hilang. Perlu adanya perluasan definisi tentang BUT sehingga dimungkinkan bagi perusahaan di luar negeri walaupun tidak secara fisik ada di Indonesia dapat dikenakan pajaknya. Jika melihat negara-negara lain, mereka tidak lagi menerapkan konsep permanent establishment (BUT jika di Indonesia) untuk memajaki penghasilan dari perusahaan semacam Netflix.

Negara-negara memilih membentuk aturan pajak khusus untuk menangani masalah ini. Sebagai contoh, pada tahun 2020 nanti, Pemerintah Italia berencana untuk memperkenalkan pajak baru yang disebut web tax. Dengan tarif sebesar 3%, web tax akan dibebankan kepada perusahaan penyedia layanan digital dengan pendapatan minimal 85,5 Miliar rupiah per tahun.

Singapura juga akan memberlakukan pajak untuk layanan digital yang diimpor dari penyedia luar negeri mulai 1 Januari 2020. Aturan tersebut diberlakukan terhadap penyedia layanan digital dari luar yang memiliki annual turnover global lebih dari $ 1 juta dolar dan memiliki minimal penjualan sebesar $ 100.000 di Singapura.

Tidak hanya layanan streaming video seperti Netflix, layanan streaming musik, game, konten digital, dan layanan manajemen data seperti jasa web hosting tak luput dari aturan tersebut. Menurut Menteri Keuangan Singapura, Heng Swee Keat, hal ini bertujuan untuk memberikan kesamaan perlakuan perpajakan antara penyedia layanan digital lokal dan luar.

Selama ini, konsumen yang memanfaatkan layanan dari penyedia lokal telah terlebih dahulu dikenakan pajak GST (Good and Service Tax) atas layanan yang mereka berikan. Dengan demikian, penyedia lokal akan terlindungi dari gempuran impor dan akan tercipta iklim kompetisi yang sehat diantara penyedia lokal dan luar.

Pemerintah Indonesia seharusnya menaruh perhatian serius mengenai masalah ini, di tengah target penerimaan pajak samapai dengan Desember 2019 masih baru terealisasi 72 persen. Rencananya, pada Januari tahun 2020 mendatang, Pemerintah Indonesia akan menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law kepada DPR.

RUU ini nantinya akan mengatur salah satunya tentang pemajakan subyek pajak luar negeri yang berbentuk perusahaan digital seperti Netflix dan perusahaan digital lain. Dalam RUU tersebut mewajibkan perusahaan digital untuk memungut, menyetor dan melaporkan Pajak kepada otoritas pajak di Indonesia meskipun tidak memiliki representasi fisik di Indonesia.

Konsepnya nanti akan lebih dikembangkan sehingga tidak hanya physical presence namun juga economical presence sebagai basis pemajakannya. Artinya, jika perusahaan luar negeri telah secara nyata melakukan kegiatan usaha dan memperoleh pendapatan di Indonesia maka akan ada kewajiban perpajakan yang harus di tunaikan.

Mari kita kawal bersama sehingga RUU ini dapat segera disahkan. Dengan begitu potensi pajak kita tidak semakin tergerus dan tentunya penerimaan dari sektor perpajakan dapat meningkat.

Sumber : Suara.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only