Faisal Basri Semprot Lagi! Omnibus Law Manjakan Pengusaha

Jakarta, – Ekonom senior INDEF Faisal Basri lagi-lagi mengkritik keras rencana dan kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, segala kebijakan yang dirancang pemerintah kali ini terlalu banyak memberikan insentif dan karpet merah buat pengusaha.

Pertama, ia mengkritik soal insentif pajak ke pengusaha. Tak cukup dengan tax holiday sampai selama 20 tahun dan super tax deductable, pemerintah juga berencana menurunkan tarif PPh Badan secara bertahap dari 25% menjadi 22% di 2021 dan 2022. Lalu, jadi 20% di 2023.

“Itulah salah satu unsur dari isi rancangan Omnibus Law. Masih banyak lagi keringanan perpajakan lainnya yang tertuang dalam rancangan Omnibus Law,” tulis Faisal Basri, dalam laman situsnya, Selasa (21/01/2020).

Menurutnya, soal ini sebenarnya pernah disinggung Jokowi pada 2016 lalu. Jokowi, kata dia, berkaca pada Singapura yang mengenakan tarif PPh badan hanya 17%.

“Apakah pantas membandingkan tarif PPh Badan di Indonesia dengan di Singapura? Mengapa tidak menggunakan acuan China yang tarifnya juga 25 persen atau India (25,17 persen) atau Brazil (34 persen),” kritiknya.

Ia menjelaskan, negara yang menerapkan tarif rendah pada umumnya adalah negara (perekonomian) kecil seperti Singapura, Taiwan (17 persen), Hong Kong (16,5 persen), Macau (12 persen), dan Timor-Leste (10 persen). Karena pasarnya kecil dan tidak memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, maka tarif pajaklah yang mereka bisa andalkan untuk menarik investor.

Dengan penduduk tahun 2020 sebanyak ratusan juta jiwa dan terbesar keempat di dunia -sehingga merupakan potensi pasar yang menggiurkan- serta kekayaan alamnya yang cukup melimpah dan beraneka ragam.

Sejatinya, kata dia, Indonesia tidak kalah menarik dengan Singapura yang mengenakan tarif lebih rendah. Tengoklah rerata berbagai kelompok negara yang tertera di bagian kanan peraga di atas: semua dengan tarif PPh Badan lebih tinggi dari Indonesia.

Menyinggung Karpet Merah Buat Pengusaha Batu Bara

Berikutnya, Faisal Basri juga menyinggung soal karpet merah buat pengusaha batu bara. Omnibus law menggelar karpet merah bagi taipan tambang batu bara dengan mengatur tidak akan ada lagi pembatasan luas lahan konsesi.

“Bisa dimaklumi, banyak petinggi negeri di pusat pusaran kekuasaan memiliki konsesi batu bara atau setidaknya dekat dengan pengusaha batu bara berskala besar. Perpanjangan kontrak tak perlu lagi lewat lelang. Pendek kata omnibus law memberikan kepastian untuk keberlanjutan usaha. Bisnis batu bara memang sangat menggiurkan. Tahun 2018 produksi batu bara mencapai 549 juta ton,” jelasnya.

Ia menilai yang paling penting adalah Omnibus Law soal ketenagakerjaan, justru masih belum jelas. Bahkan pembahasan soal kluster tersebut dinilai terlalu tertutup sehingga banyak penolakan terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja.

“Selama ini perpepsi yang kuat di kalangan pengusaha dan sebagian kalangan pemerintah meyakini bahwa aturan tentang ketenagakerjaan menghambat investasi. Namun, karena sedemikian tertutupnya pembahasan tentang ini, kita tunda dulu pembahasannya supaya tidak menambah simpang siur. Sedemikian tertutupnya pembahasan, sampai-sampai yang terlibat dalam penyiapan draf omnibus law harus menandatangani surat pernyataan di atas meterai untuk tidak membocorkan isi rancangan pembahasan kepada pihak ketiga.”

Sumber : Cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only