Hadapi Resesi, Ekonomi Global Anjlok ke Minus 3 Persen

JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini diperkirakan minus 3 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan krisis keuangan global pada 2008-2009. Saat itu, perekonomian global tumbuh minus 0,1 persen.

Untuk pertama kalinya sejak great depression atau depresi besar, ekonomi serta negara-negara maju dan negara berkembang, juga negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, ada dalam situasi yang sama, yakni menghadapi resesi atau kelesuan ekonomi.

Proyeksi ini dipengaruhi kondisi dunia yang dikepung pandemi Covid-19. Krisis yang terjadi saat ini menimbulkan ketidakpastian dan berdampak pada kehidupan masyarakat. Meski demikian, jika pandemi bisa diatasi pada semester II-2020 dan kebijakan yang dilakukan di seluruh dunia efektif mencegah kebangkrutan usaha, menjaga kehilangan pekerjaan, dan menopang sistem keuangan, maka pertumbuhan ekonomi 2021 akan berbalik positif ke arah 5,8 persen.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi global ini dikemukakan Konselor Ekonomi Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath dalam Pertemuan Musim Semi IMF-Bank Dunia yang digelar virtual, Selasa (14/4/2020) pagi waktu Washington DC, Amerika Serikat. IMF memaparkan proyeksi ini dalam Outlook Perekonomian Dunia.

Dengan demikian, proyeksi pada April 2020 ini merosot 6,3 persen dibandingkan dengan proyeksi yang dipaparkan IMF pada Januari 2020. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi global 2019 yang 2,9 persen, proyeksi yang dirilis pada April ini berbalik arah.

”Banyak negara mengalami multikrisis, antara lain kesehatan, keuangan, dan harga komoditas yang anjlok. Kondisi ini akan menimbulkan situasi yang kompleks,” kata Gita.

Oleh karena itu, pengambil kebijakan diharapkan menyokong rumah tangga, perusahaan, dan pasar keuangan.

Diasumsikan, dampak pandemi Covid-19 bagi sebagian besar negara di dunia akan mencapai puncaknya pada triwulan II tahun ini. Bahkan, sebagian bisa berlanjut pada semester II.

”Hal ini yang membuat great lockdown menjadi resesi terburuk sejak great depression dan jauh lebih buruk dibandingkan dengan krisis keuangan global,” ujar Gita.

Great Depresi atau Depresi Besar terjadi pada 1930-an.

Gita menambahkan, tak satu negara pun bisa terhindar dari krisis akibat pandemi Covid-19 ini. Negara-negara yang mengandalkan pariwisata, perjalanan, layanan keramahtamahan, dan hiburan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi akan menghadapi disrupsi besar.

Sementara itu, negara-negara berkembang dan pertumbuhan ekonomi tinggi akan menghadapi tantangan tambahan, yakni pembalikan modal asing dan tekanan terhadap nilai tukar. Kondisi ini akan memperlemah sistem kesehatan dan membatasi ruang fiskal untuk mendukung warganya.IMF memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tahun ini minus 6,1 persen. Sementara negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan negara-negara berkembang akan tumbuh minus 1 persen dengan memasukkan China. Jika mengeluarkan China dari kelompok ini, pertumbuhan ekonomi akan minus 2,2 persen.

Dalam siaran pers, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat diperkirakan terutama terjadi pada triwulan II dan triwulan III tahun ini. Hal ini seiring prospek kontraksi ekonomi global dan dampak ekonomi dari upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

”Perekonomian nasional diperkirakan kembali membaik mulai triwulan IV-2020 dan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan dapat menuju 2,3 persen,” ucap Onny dalam siaran pers.

Sementara itu, kepala ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Kiryanto berpendapat, kebijakan penanganan Covid-19 merupakan hal yang diharapkan saat ini. Dengan kondisi yang masih belum menentu, suasana dunia usaha dan masyarakat saat ini prihatin. Pelaku usaha juga masih melihat dan menunggu penanganan pandemi Covid-19 tuntas.

Sumber: Kompas.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only