Ekonomi Digital dan Perppu Nomor 1/2020

Dari waktu ke waktu, penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di dunia, termasuk Indonesia, terus meningkat. Guna memitigasi hal itu, Pemerintah mengimbau untuk beraktivitas di rumah saja, sebagai upaya pembatasan sosial (social distancing) atau pembatasan fisik (physical distancing). Bahkan, DKI Jakarta beberapa kota lain telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Seluruh sekolah memberlakukan “belajar dari rumah” atau study from home (SFH). Proses belajar mengajar di sekolah dihentikan. Sebagai gantinya, proses belajar mengajar dilakukan dari rumah dengan media online atau daring.

Begitu juga dengan tempat kerja, baik instansi pemerintah maupun swasta, proses bekerja dari tempat kerja dilakukan pembatasan dengan jumlah minimum pegawai atau karyawan. Sisanya, diterapkan “bekerja dari rumah” atau work from home (WFH) untuk menjaga produktivitas/kinerja. Media daring digunakan sebagai sarana komunikasi dan koordinasi pelaksanaan pekerjaan.

Kebijakan SFH atau WFH ini telah mendorong masyarakat memanfaatkan internet. Bahkan, pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari juga dilakukan melalui media daring. Ujungnya, penetrasi pengguna internet mendorong tumbuhnya ekonomi digital.

Ekonomi digital atau internet memiliki potensi tinggi bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2019, nilainya ditaksir US$ 40 miliar. Angka ini meliputi sektor niaga, travel, media, dan transportasi berbasis daring. Indonesia menempati posisi paling tinggi dibandingkan negara-negara di Asean lainnya, seper ti Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Jika dibandingkan tahun 2015, laju pertumbuhan majemuk tahunan (compound annual growth rate/CAGR)-nya mencapai 49%. Pada tahun 2025, angkanya diperkirakan menembus US$ 133 miliar (Laporan e-Conomy SEA 2019).

Masih dalam laporan yang sama, Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat pengguna internet di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 152 juta jiwa. Angka ini naik sekitar 65% dibandingkan tahun 2015, dengan 92 juta jiwa pengguna internet.

Sementara itu, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyajikan data hasil survei, pengguna internet di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 171,17 juta atau 64,8% dari 264,16 juta jiwa populasi penduduk Indonesia. Persentasenya naik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2017, penduduk yang menggunakan internet sebanyak 143,26 juta, atau 54,68% dari 262 juta jiwa total penduduk Indonesia. Sedangkan pada tahun 2016, jumlahnya sebanyak 132,7 juta, atau 51,79% dari keseluruhan populasi.

Perppu Nomor 1 Tahun 2020

Pemerintah hendak menangkap potensi pemajakan atas aktivitas ekonomi internet. Apalagi dalam keadaan tertentu, darurat bencana seperti ini, kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) diperkirakan tumbuh. Kebijakan perpajakan berupa perlakuan perpajakan atas PMSE menjadi salah satu pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020.

Sedikitnya ada dua poin. Pertama, penunjukan pedagang atau penyedia jasa luar negeri dan penyelenggara PMSE, baik luar negeri maupun luar negeri, sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kedua, pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan PMSE yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri (SPLN), yang memenuhi ketentuan significant economic presence atau kehadiran ekonomi signifikan. Pemajakan atas aktivitas ekonomi digital dari perusahaan digital yang berkembang pesat saat ini, seperti: Google, Amazon, Netflix, Spotify, dan Zoom, menjadi tantangan di setiap negara.

Ada sejumlah negara yang telah menerapkan pemajakan transaksi digital. Di antaranya adalah Perancis, Italia, Spanyol, Austria, dan India, yang menetapkan pajak dari nilai transaksi. Sementara itu, Australia dan Inggris mengenakan pajak transaksi digital sebagai diverted profit tax atau pajak atas keuntungan yang dialihkan. Negara-negara G20, termasuk Indonesia, memiliki pandangan yang sama untuk mencapai konsensus global atas sistem pajak internasional terhadap aktivitas ini.

Ada dua mekanisme perpajakan yang akan diterapkan. Pertama, pengenaan PPh. Pedagang atau penyedia jasa, dan/atau penyelenggara PMSE luar negeri dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan dikenakan PPh apabila memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Syarat tersebut, berupa: (a) omzet konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu; (b) penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau (c) jumlah pengguna aktif media digital, yang nantinya diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan.

Sementara itu, PP Nomor 80 tahun 2019 tentang PMSE mengatur bahwa pelaku usaha luar negeri yang secara aktif melakukan penawaran dan/atau PMSE kepada konsumen di Indonesia, yang memenuhi kriteria tertentu, dianggap memenuhi kehadiran secara fisik dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di Indonesia.

Di samping itu, penyelenggara PMSE luar negeri yang juga memenuhi kriteria tertentu tersebut wajib menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia. Kriteria tertentunya dapat berupa: (a) jumlah transaksi, (b) nilai transaksi, (c) jumlah paket pengiriman; dan/atau (d) jumlah traf fic atau pengakses, yang diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan. Kemudian, sinergisitas antar-kementerian sangat diperlukan agar harmonisasi kedua peraturan tersebut dapat sejalan beriringan dan tidak tumpang tindih, sehingga tercapai kepastian hukum.

Kedua, pengenaan pajak transaksi elektronik. Pedagang atau penyedia jasa, dan/atau penyelenggara PMSE luar negeri dikenakan pajak transaksi elektronik, dalam hal penetapannya sebagai BUT tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak (P3B).

Selanjutnya, ketentuan teknis mengenai besarnya tarif, dasar pengenaan pajak, tata cara perhitungan PPh atau pajak transaksi elektroniknya nantinya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Perluasan BUT

Sebagai yurisdiksi dalam negeri, melalui Perppu ini, Indonesia memperluas definisi BUT. Perluasan BUT ini sejalan dengan rekomendasi atau rencana aksi the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan “Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1:2015 Final Report”, pendekatan unified approach digunakan sebagai dasar. Pendekatan ini merupakan gabungan atas proposal sebelumnya, yaitu: user participation, marketing intangibles, dan significant economic presence.

Pendekatan user participation memungut pajak digital berdasarkan kontribusi pengguna dan hak pengenaan pajak dialokasikan berdasarkan tempat di mana pengguna tersebut berada. Marketing intangibles mengenakan pajak didasarkan pada tempat aset tersebut digunakan. Sedangkan significant economic presence mengasumsikan subjek pajak dianggap memiliki kehadiran ekonomi apabila terdapat interaksi dengan pengguna melalui teknologi digital, misalnya platform online.

Indonesia dan 47 negara juga telah sepakat mengubah ketentuan penghindaran status BUT melalui pengecualian kegiatan tertentu dalam P3B-nya sebagaimana Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting yang ditandatangani pada 7 Juni 2017 di Paris, Prancis, dan telah diratrifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 77 tahun 2019. Tidak berhenti di situ, ketentuan teknis, baik PP maupun PMK, sangat dinantikan. Tujuannya agar potensi atas perluasan basis pemajakan melalui pemajakan ekonomi digital dapat segera ditangkap. Muaranya, terciptanya keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

Bukan itu saja, penerimaan perpajakan dapat terdongkrak guna pemulihan perekonomian nasional, dalam rangka penanganan pandemic Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only