Terikat Kesepakatan Pajak, RI Tak Bisa Tarik PPh Perusahaan Digital AS

Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan atau PPh kepada perusahaan digital asing yang menjual produk di Indonesia masih menemui jalan terjal. Pasalnya, pemerintah saat ini masih memiliki perjanjian pajak atau tax treaty dengan 60 negara, termasuk Amerika Serikat.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menjelaskan, subjek pajak luar negeri yang dapat dipungut PPh sesuai perjanjian tersebut hanya perusahaan yang memiliki kehadiran fisik. Untuk itu, pemerintah masih menunggu konsensus global guna menerapkan kebijakan tersebut.

“Walau sudah ada di UU Nomor 2 tahun 2020, tetapi tidak akan serta merta kami terapkan, kami masih menunggu kesepakatan,” ujar Yoga dalam sebuah diskusi daring, Rabu (30/6).

Dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan Covid-19, pemerintah mengatur pengenaan PPh terhadap Subjek Pajak Luar Negeri. SLPN yang dianggap memiliki significant economic presence akan dikenakan PPh.

Significant economic presence dapat berupa jumlah penjualan di Indonesia, omset konsolidasi grup, hingga jumlah pengguna aktif media digital. Ketentuan significant economic presence rencananya akan diatur dengan Peraturan Meneteri Keuangan.

Bila tidak dapat dikenakan PPh, maka pemerintah akan mengenakan pajak transaksi elektronik kepada SPLN. Pajak transaksi eklektronik diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tak hanya di Indonesia, Yoga mengungkapkan bahwa beberapa negara lain seperti India, Inggris, dan Perancis juga telah menyiapkan aturan pengenaan PPh kepada SPLN. “Maka kalau kesepakatan itu tidak terjadi negara-negara tersebut berencana memunculkan konsep baru,” ujarnya.

Ia pun berharap kesepakatan mengenai pengenaan PPh pada perusahaan digital lintas negara ini dapat rampung akhir 2020. Adapun selama konsensus global belum tercapai, pemerintah Indonesia masih akan menghormati perjanjian pajak tersebut. “Saat terjadi kesepakatan, baru langsung kami terapkan,” katanya.

Adapun saat ini, DJP telah merilis aturan teknis mengenai kriteria perusahaan digital yang wajib memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor per-12/PJ/2020.

Kriteria perusahaan digital yang wajib memungut dan menyetorkan PPN antara lain, pelaku usaha e-commerce yang dalam kurun 12 bulan memiliki nilai transaksi penjualan produk digital melebihi Rp 600 juta dalam satu tahun, atau Rp 50 juta dalam satu bulan. Kemudian, perusahaan digital yang memiliki jumlah pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam satu tahun atau 1.000 dalam satu bulan.

Nantinya, DJP akan menunjuk perusahaan digital yang memenuhi kriteria tersebut. Namun, pelaku usaha yang belum ditunjuk tetapi ingin menyetorkan kewajiban pajaknya, dapat menyampaikan pemberitahuan kepada DJP.

Pemerintahan Donald Trump sebelumnya berencana melakukan investigasi terkait rencana penerapan pajak digital di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Aturan pajak terhadap produk digital di Indonesia akan berlaku pada bulan depan.

Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer mengatakan investigasi ini dilakukan karena Trump khawatir banyaknya mitra dagang Negeri Paman Sam mengadopsi skema pajak yang tidak adil pada perusahaannya. “Kami siap untuk mengambil semua tindakan yang sesuai untuk membela bisnis dan pekerja kami terhadap segala diskriminasi semacam itu,” ujar Robert seperti dikutip dari Reuters, Kamis (4/6).

Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak sepanjang Januari hingga April 2020 baru mencapai sebesar Rp 376,7 triliun. Realisasi ini mencapai 30% target penerimaan pajak tahun ini, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebesar Rp 1.254 triliun.

Sumber: Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only