Gratifikasi Jadi Objek Pajak di Omnibus Law, Stafsus Menkeu: Sudah Sejak 1983

Jakarta – Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menjelaskan mengenai gratifikasi sebagai objek pajak. Perihal tersebut ramai menjadi perbincangan masyarakat lantaran termaktub kembali dalam Pasal 111 Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja.

Di dalam pasal tersebut di poin nomor 2, termaktub bahwa ketentuan pasal 4 Undang-undang tentang Pajak Penghasilan diubah. Di dalam ketentuan tersebut tersurat bahwa penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang, masuk ke dalam objek pajak.

Menurut Prastowo, ketentuan gratifikasi menjadi objek pajak sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sementara, gratifikasi sebagai tindak pidana baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Gratifikasi sudah jauh lebih dulu dikenal sebagai fee bisnis di swasta, sebelum UU Tipikor 1999,” ujar Prastowo kepada Tempo, Kamis, 8 Oktober 2020.

Ia mengatakan gratifikasi itu berkaitan dengan pekerjaan atau hubungan kerja. Menurut dia, konsep penghasilan di dalam aturan di Indonesia luas dan tidak melihat asal usul.

“Ya kalau pidana korupsi lain lagi. Konsep penghasilan kita luas, tidak melihat asal usul. Kalau dihilangkan malah enggak dipajaki dong?” ujar Prastowo.

Artinya, kata dia, gratifikasi bisa dikenai dua ketentuan yaitu mengacu ke UU Tipikor dan UU Pajak Penghasilan. “Tipikor kena, pajak bayar.”

Dikutip dari laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi gratifikasi atau pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, yang berbunyi Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Adapun pada Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.

Sumber : Tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only