Pajak Transaksi Digital Akan Ditarik Tahun Depan

Pajak transaksi elektronik sesuai Undang-Undang Nomor 2/2020 akan diterapkan tahun 2021

JAKARTA. Pemerintah Indonesia bakal menambah pungutan pajak bagi usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) pada tahun depan. Pemerintah mengambil tindakan sepihak atau unilateral ini apabila tak kunjung ada konsensus global atas pemajakan terhadap aktivitas ekonomi digital.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, global taxation agreement sebenarnya bisa memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi digital ketimbang aksi unilateral seperti ini.

Namun jika tidak tercapai kesepakatan secara global, Indonesia sudah mempunyai acuan untuk bertindak unilateral, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Estimasi income bisa dijadikan bahan untuk memungut pajak penghasilannya.

Pasal 6 ayat 1 butir (b) UU Nomor 2/2020 membolehkan pengenaan pajak penghasilan atau pajak transaksi elektronik (PTE) atas kegiatan PMSE yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri (SPLN) yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Karena itu, kalau tak kunjung ada konsensus global, Indonesia akan melakukan aksi unilateral ini. “Bedanya, kita memungut tidak menggunakan formula yang digunakan dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) pilar satu dan pilar dua,” kata Sri Mulyani, Selasa (1/12).

Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan PTE ini, pertama, memenuhi kehadiran ekonomi signifikan atau significant economic presence (SEP) dari PMSE luar negeri di Indonesia. Dengan kata lain, tidak perlu kehadiran fisik perusahaan seperti yang diatur Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dan tax treaty.

Kedua, pelaku usaha PMSE yang merupakan SPLN itu berasal dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Sebagai catatan, dari 70 P3B yang telah dilakukan Indonesia, terdapat 69 P3B yang mengatur kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam kesepakatannya.

Menkeu menambahkan, PTE yang dipungut bakal menggunakan basis data SPLN yang saat ini sudah menarik, memungut, dan melaporkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penjualan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. “Ada estimasi income yang diperoleh pastinya bisa diestimasi dari pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) yang saat ini dan akan terus berjalan, dan ini bisa saja dijadikan bahan untuk memungut pajak penghasilan nya,” tambah Sri Mulyani.

Azas keadilan

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, rencana pemerintah ini sudah on the track dengan menawarkan solusi langkah unilateral, apabila konsensus pemajakan ekonomi digital tidak mencapai kesepakatan. Kendati demikian, Fajry mengingatkan agar pungutan PTE tetap mengedepankan azas keadilan. Dengan demikian, prioritas untuk dikenai pajak bukan SPLN yang saat ini sudah memungut dan menyetorkan PPN selama ini.

Fajry juga mengingatkan, harus ada threshold (ambang batas) berapa besar transaksi yang akan dikenakan PTE ini agar tidak berdampak negatif bagi pelaku usaha rintisan (start up). “Jadi untuk perusahaan digital yang kecil atau transaksinya tidak signifikan, sebaiknya tidak dipungut pajak,” tandas Fajry, Rabu (2/12).

Sumber: Harian Kontan, Kamis 03 Nov 2020 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only