Ini tanggapan APBI soal rencana perubahan tarif royalti batubara

JAKARTA. Pemerintah bakal melakukan penyesuaian tarif royalti untuk komoditas batubara dan emas. Perubahan tersebut dilakukan dengan alasan meningkatkan pendapatan negara.

Untuk batubara, penyesuaian tarif royalti dilakukan lantaran terjadi perubahan status batubara. Dari yang semula barang bukan kena pajak, sekarang menjadi barang kena pajak.

Akibatnya, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perpajakan yang sedang disusun oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), royalti Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara akan disesuaikan secara berjenjang. Artinya, akan mengikuti dinamika pasar.

“Secara keseluruhan upaya ini adalah untuk menjamin bahwa penerimaan negara meningkat, karena peningkatan penerimaan negara adalah mandat dari UU No. 3 tahun 2020 (UU Minerba),” jelas Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin dalam paparan realisasi kinerja Minerba 2020 dan rencana 2021 secara daring, Jumat (15/1).

Kendati begitu, pemerintah tetap akan memperhatikan kepentingan pelaku usaha, sehingga masih dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Sayangnya, Ridwan belum membeberkan bagaimana skema tarif royalti berjenjang yang sedang dibahas pemerintah.

“Saya belum dapat menyampaikan angkanya karena belum diputuskan. Namun sesuai dengan harga batubara pada kondisi tertentu. Jadi tidak berada pada satu angka saja, disesuaikan dengan dinamika pasar juga,” jelas Ridwan.

Menanggapi hal itu, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) pun buka suara. Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menyampaikan, dalam PP Perpajakan untuk bidang usaha pertambangan batubara, salah satu isinya memang mengatur tentang royalti atau Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) untuk perusahaan PKP2B yang akan diperpanjang menjadi IUPK.

“Untuk itu kami sepakat jika diberlakukan tarif royalti secara berjenjang (progresif) sesuai dengan tingkat harga tertentu dengan mempertimbangkan harga komoditas yang sangat fluktuatif,” kata Hendra kepada Kontan.co.id, Jum’at (15/1).

Namun, Hendra pun memberikan sejumlah catatan. Kata dia, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi pemegang IUPK OP perpanjangan PKP2B. Pasalnya perusahaan ini sudah beroperasi sejak lebih dari 20 tahun bahkan hampir 30 tahun.

Dengan begitu, ada sejumlah karakteristik yang perlu diperhatikan. Pertama, lokasi sebaran cadangan batubara mulai terbatas, sehingga makin sulit memilih lokasi penambangan yang ekonomis.

Kedua, letak cadangan batubara yang lebih dalam dan lebih jauh, sehingga semakin lama akan semakin besar biaya untuk mengambil batubara.

Ketiga, letak lokasi pembuangan lapisan tanah penutup juga semakin jauh, sehingga perlu mengeluarkan biaya yang makin besar agar bisa menyingkap lapisan batubara.

“Secara alamiah, biaya produksi yang harus dikeluarkan pada kondisi tambang yang sudah menurun akan terus meningkat dari waktu ke waktu,” terang Hendra.

Padahal, harga jual batubara  tidak berhubungan dengan biaya produksi, namun mengikuti pergerakan indeks harga global dan indeks harga yang ditetapkan pemerintah.

“Dengan kata lain, risiko berusaha yang ditanggung oleh pemegang IUPK OP PKP2B amat tinggi,” kata Hendra.

Menurutnya, tingginya royalti sama artinya dengan tingginya biaya produksi. Alhasil, cadangan batubara yang masih berada di lapisan bawah, yang semula masih ekonomis untuk ditambang menjadi tidak ekonomis lagi. “Akibat tingginya royalti, menyebabkan cadangan batubara ekonomis akan menurun,” jelas Hendra.

Sedangkan mengenai besaran tarif royalti ekspor, APBI meminta pemerintah untuk mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara yang memungkinkan perusahaan tetap dapat bertahan pada saat harga komoditas dunia turun.

“Jika tarif royalti ditetapkan sangat tinggi di luar batas kemampuan perusahaan maka perusahaan batubara akan kesulitan menutup biaya produksi dan royalti,” imbuh Hendra.

Sumber : Kontan.co.id, Sabtu 16 Januari 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only