Teriakan pengusaha hotel yang semakin tertekan

JAKARTA. Kondisi industri perhotelan dan restoran semakin tertekan akibat pembatasan sosial yang terus berlanjut. Rata-rata okupansi turun selama 5 tahun terakhir ini dari sekitar 70% menjadi 56%.

Menurut Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sutrisno Iwantono memaparkan tingkat okupansi semakin tertekan. “Sekarang sangat banyak yang beroperasi dengan okupansi jauh di bawah 25%,” ujarnya dalam diskusi Industri Hotel dan Restoran Bangkit di 2021, Minggu (17/1).

Pihaknya khawatir jika terus berlanjut maka akan banyak hotel yang akan tutup secara permanen. Tapi, dia belum bisa mengestimasikan berapa lama pengusaha mampu bertahan. “Jika kondisi 2-3 bulan ke depan tidak ada perbaikan akan semakin sulit,” kata Sutrisno.

Dia juga berharap pemerintah membantu meringankan beban-beban biaya yang dapat menyebabkan industri kolaps. Bantuan tersebut berupa, pajak-pajak PB1, pajak korporasi, PBB, pajak reklame, pajak tanah air, biaya listrik, pungutan tenaga kerja dan pungutan lainnya.

“Selama ini dikenakan pajak final Rp 4,8 miliar. Kelihatannya ini mau diturunkan jadi Rp 2 miliar, kalau diturunkan menjadi Rp 2 miliar saya kira akan timbulkan persoalan serius ke depan. Oleh karena itu kami usulkan ditingkatkan paling tidak menjadi Rp 7,5 miliar, itu yang dikenakan pajak final bagi hotel non bintang dan restoran kecil,” papar dia.

Sutrisno bilang, dari sisi BLT memang tetap dijalankan. Namun, stimulus tersebut mengecil menjadi Rp 372 triliun. Menurutnya, dibandingkan negara lain terlalu kecil lantaran sekitar 2%-2,5 dari PDB.

Pihaknya mencatat, DKI Jakarta memiliki sekitar 991 hotel hingga 2019 lalu. Jumlah tersebut terdiri dari 397 hotel bintang dan 594 hotel non bintang. Sementara itu, jumlah restoran jauh lebih banyak diperkirakan mencapai belasan bahkan puluhan ribu unit restoran.

Secara terpisah, Sekretaris Jendral PHRI Maulana Yusran menjelaskan akibat PPKM yang kembali diterapkan pemerintah turut memberi andil terhadap tekanan okupansi. “Januari memang low season sehingga pasti terjadi penurunan, tetapi ditambah PPKM sehingga menambah penurunan okupansi,” ujarnya saat dihubungi kontan.co.id secara terpisah.

Menurut Maulana, dalam kondisi normal rata-rata okupansi normal di low season berkisar 45%-50%. Sementara, saat ini rata-rata okupansi nasional di level 20%.

Terlebih saat ini juga ada permasalahan lainnya, yakni biaya perjalanan. Maulana menjelaskan untuk traveler yang menggunakan transportasi udara maka 2 hari sebelum keberangkatan perlu melakukan tes antigen sehingga biaya perjalanan meningkat. Oleh sebab itu, tingkat okupansi hotel-hotel luar Pulau Jawa jauh lebih tertekan.

“Berbeda jika untuk hotel-hotel di Pulau Jawa karena masih ada transportasi darat, makanya seperti Jakarta itu menjadi salah satu kontributor okupansi nasional karena masih cukup tinggi,” tambah dia.

Seiring dengan tertekannya tingkat okupansi, harga kamar atawa average room rate (ARR) juga tertekan. Ia berujar saat ini untuk hotel bintang tiga ke atas memiliki ARR sekitar Rp 500 ribu atau turun 30%. Karenanya, saat ini yang bisa dilakukan pengusaha hotel dan restoran hanyalah bertahan melalui efisiensi biaya operasional.

“Sebetulnya kami sudah kehabisan strategi, sebab sejak tahun lalu kami sudah lakukan berbagai strategi untuk membuat pasar. Pertama yang telah kami lakukan dari pricing, sehingga ARR turun, tetapi timbul biaya traveling di biaya transportasi udara,” jelasnya.

Ia melanjutkan, awal tahun ini kian berat lantaran bantuan seperti biaya listrik yang diterima pengusaha di tahun lalu sudah tidak ada lagi, termasuk relaksasi pajak. “Semua kembal normal sehingga sekarang makin berat,” tandasnya.

Sumber : Kontan.co.id, Minggu 17 Jan 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only