Harga CPO Ditutup Menguat

Harga kontrak Crude Palm Oil (CPO) di Bursa Malaysia Derivatives menguat pada perdagangan di Rabu (18/5/2022).

Berdasarkan data Bursa Malaysia Derivatives pada penutupan Jumat (13/5/2022), kontrak berjangka CPO untuk pengiriman Juni 2022 naik 30 Ringgit Malaysia menjadi 6.694 Ringgit Malaysia per ton. Kontrak pengiriman Juli 2022 terdongkrak 19 Ringgit Malaysia menjadi 6.364 Ringgit Malaysia per ton.

Sementara itu, kontrak pengiriman Agustus 2022 terkerek 18 Ringgit Malaysia menjadi 6.134 Ringgit Malaysia per ton. Kontrak pengiriman September 2022 naik 15 Ringgit Malaysia menjadi 6.021 Ringgit Malaysia per ton. Serta, kontrak pengiriman Oktober 2022 menanjak 14 Ringgit Malaysia menjadi 5.960 Ringgit Malaysia. Kontrak pengiriman November 2022 terdongkrak 12 Ringgit Malaysia menjadi 5.937 Ringgit Malaysia.

Research & Development ICDX Girta Yoga menyebut, pasar masih memantau rilisnya data ekspor CPO Malaysia periode awal Mei. Menyusul, kebijakan Malaysia memangkas pajak ekspor CPO. Pemangkasan pajak ekspor ini menjadi salah satu upaya pemanfaatan momentum paling efisien atas kehilangan pasokan di pasar global akibat pelarangan eksor CPO Indonesia. “Melalui kebijakan pemangkasan pajak ini akan memicu produsen CPO Malaysia untuk meningkatkan laju ekspor karena pajak yang harus ditanggung eksportir Malaysia menjadi lebih rendah,” ungkap Yoga kepada Investor Daily, belum lama ini.

Yoga menambahkan, hal ini membuat Malaysia saat ini mengusai pasar CPO dunia. Karena dengan vakumnya Indonesia saat ini maka secara otomatis membuat Malaysia menggantikan posisi Indonesia

sebagai produsen CPO terbesar pertama dunia. Sementara itu, di dalam negeri, harga minyak goreng mulai kembali stabil. Tentunya hal ini juga didukung oleh permintaan pasar yang mulai kembali normal pasca perayaan Ramadan dan Idulfitri yang biasanya memang membuat permintaan melonjak. Selain itu, efek dari pelarangan juga secara tidak langsung membuat berlimpahnya pasokan CPO dalam negeri.

Menurut Yoga, jika larangan ekspor diberlakukan dalam jangka waktu lama, tentunya akan mengancam nasib dari petani sawit, pabrik hingga eksportir karena harus diakui dari data yang ada konsumsi dalam negeri jauh lebih kecil (hanya berkisar sekitar 35%) dari produksi yang dihasilkan. “Dengan adanya pelarangan tersebut tentunya akan berimbas pada penurunan permintaan kelapa sawit, karena tidak boleh diekspor, maka yang paling mungkin dilakukan hanya memastikan pasokan untuk pasar domestik tercukupi,” paparnya.

Lebih lanjut Yoga menyebut, dalam mengatur pasokan dan harga CPO dalam negeri, sebaiknya pemerintah mungkin dapat mencontoh kebijakan yang dilakukan oleh Malaysia. Dimana untuk pengawasan perdagangannya dengan sistem tataniaga terpusat.

Dengan sistem terpusat ini, lanjutnya, akan tercipta suatu data valid yang akan memudahkan bagi pemerintah baik dalam pengawasan terkait realisasi penjualan maupun pembentukan harga CPO. “Sehingga nantinya kebijakan yang akan diambil juga akan lebih tepat sasaran,” tutup Yoga.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only