Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan alasan menunda implementasi pajak karbon sebanyak dua kali, yakni pada April dan Juli 2022 ini.
Menurutnya, penundaan pajak karbon dilakukan melihat kondisi perekonomian saat ini yang dibayangi oleh berbagai risiko global akibat perang Rusia dan Ukraina. Dalam hal ini, fokus pemerintah adalah mengantisipasi dampak berbagai risiko itu ke dalam negeri.
“Kita lihat sekarang ini dengan gejolak yang terjadi di sektor energi, kita juga harus calculated mengenai penerapannya yang harus tetap positif untuk ekonomi kita sendiri terutama nanti untuk diversifikasi energi, namun pada saat yang sama mengatasi ketidakpastian yang berasal dari global terutama harga-harga energi yang sedang bergejolak,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (27/6).
Dengan kondisi ketidakpastian global ini maka, pemerintah melihat bahwa penundaan penerapan pajak karbon yang harusnya di 1 Juli 2022 ini untuk ditunda sampai perekonomian stabil.
“Nah hal seperti ini harus kami kalkulasi secara sangat hati-hati terhadap policy-policy yang menyangkut energi termasuk di dalamnya pajak karbon. Jadi kami lihat timing-nya (untuk penerapan selanjutnya),” jelasnya.
Meski demikian, ia menekankan penerapan pajak karbon akan tetap dilakukan tahun ini. Hal itu sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengurangi emisi dalam negeri.
“Di dalam peraturan regulasi tetap kami susun. Ini penting, climate change adalah concern yang penting bagi dunia dan kita sendiri,” kata dia.
Adapun, pengenaan pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sedianya, penerapannya mulai diimplementasikan pada 1 April 2022, tetapi ditunda ke 1 Juli 2022. Pekan lalu, kebijakan itu ditunda lagi sampai waktu yang tak ditentukan.
Sumber : Cnnindonesia.com
Leave a Reply