JAKARTA. Pemerintah mengklaim, rezim baru perpajakan di Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) efektif mengerek setoran negara. Setidaknya, aturan baru yang tertuang dalam UU HPP menghasilkan tambahan penerimaan negara Rp 77,64 triliun pada semester I-2022.
Namun jika dibedah, tambahan setoran pajak paling signifikan berasal dari pajak penghasilan (PPh) Program Pengungkapan Sukarela (PPS) wajib pajak (WP) atau Tax Amnesty II. Dari program ini, negara menjaring Rp 61,01 triliun. Program yang berlangsung 1 Januari sampai 30 Juni 2022, diikuti 247.918 wajib pajak.
Adapun sumber baru lain terbilang masih minim. Lihat saja, pertama, setoran pajak teknologi finansial atau financial technology (fintech) yang dipungut mulai 1 Mei 2022. Hingga Juni 2022 sekitar Rp 73,08 miliar.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo menyebut penerimaan ini dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WP dalam negeri dan badan usaha tetap (BUT) sebesar Rp 60,83 miliar dan PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WP luar negeri dan BUT sebesar Rp 12,25 miliar. “Insya Allah bisa lebih banyak lagi dan meningkat cukup cepat,” katanya, Selasa (2/8).
Kedua, setoran pajak dari transaksi kripto Rp 48,19 miliar. Perinciannya, PPh 22 atas transaksi aset kripto lewat perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dalam negeri dan penyetoran sendiri sebesar Rp 23,08 miliar. Selain itu, pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pelaksanaan transaksi jual beli aset kripto Rp 25,11 miliar. Sama dengan pajak fintech, pungutan pajak atas transaksi kripto juga berlaku 1 Mei 2022.
Ketiga, penerimaan pajak dari kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%. Kebijakan ini berlaku 1 April 2022, menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 13,95 triliun.
Keempat, setoran PPN PMSE sebesar Rp 2,47 triliun. Kebijakan ini memang berlaku sejak tahun 2020. Pemerintah merevisi dasar hukum kebijakan mengacu ke UU HPP.
Melampaui outlook
Ke depan, Suryo menyatakan, Ditjen Pajak terus mewaspadai kondisi ekonomi pada semester II-2022. Menurut perhitungannya, penerimaan pajak periode Juli 2022 hingga Desember, tak semoncer semester sebelumnya. “Kami perkirakan agak sedikit menurun, kekuatan pertumbuhan (pajaknya) di semester II-2022,” tambahnya.
Selain ketidakpastian ekonomi, harga komoditas memasuki fase normalisasi, sehingga akan mempengaruhi penerimaan pajak hingga akhir tahun. Namun, dia optimistis penerimaan pajak bisa mencapai target.
Pengamat Pajak MUC Tax Research Wahyu Nuryanto melihat, kinerja penerimaan pajak tahun ini akan melampaui target yang ditetapkan dalam Perpres No 98/2022. Bahkan, bukan tidak mungkin penerimaan pajak melampaui outlook pemerintah yang sebesar Rp 1.608 triliun.
Maklum, penerimaan pajak semester I-2022 tumbuh signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu. Selain itu, “Belanja pemerintah biasanya meningkat menjelang akhir tahun. Ini akan mengungkit penerimaan pajak,” kata Wahyu kepada KONTAN.
Namun ia melihat ada beberapa risiko penerimaan pajak yang perlu diwaspadai. Diantaranya, perlambatan ekonomi global hingga lonjakan inflasi yang tak terkendali.
Direktur Tax Research Institute Prianto Budi Saptono berharap, pemerintah harus bisa meningkatkan penerimaan pajak lebih tinggi lagi di tahun depan untuk mendongkrak tax ratio. Dengan asumsi ekonomi pulih, konsumsi dalam negeri meningkat, dan kondisi global yang lebih stabil, Prianto memperkirakan penerimaan pajak tahun depan bisa di atas Rp 1.600 triliun.
Sumber : Harian Kontan Rabu 03 Agustus 2022 hal 2
Leave a Reply