Ini Penyebab IHSG Gagal Menguat di Akhir Perdagangan

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup koreksi tipis pada perdagangan Selasa (25/11/2022), setelah sempat bergerak pada perdagangan sesi I Hari ini.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup turun tipis 0,08% ke posisi 7.012,07. IHSG akhirnya masih mampu bertahan di zona psikologis 7.000.

Pada perdagangan sesi I hari ini, IHSG dibuka merah tipis di 7.017,31 tetapi lanjut naik 0,13% ke 7.026,43 pada 09.13 WIB. Meskipun demikian tercatat pada pukul 10:00 WIB IHSG sudah kembali ke zona merah setelah longsor 0,28% ke level 6.977,24. IHSG juga sempat menjebol ke bawah level psikologis 7.000.

Sedangkan di perdagangan sesi II, pelemahan IHSG sedikit terpangkas meski juga sempat bergejolak, tetapi masih lebih baik dibandingkan dengan perdagangan sesi I.

Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitaran Rp 15 triliun dengan melibatkan 25 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,5 juta kali. Sebanyak 238 saham menguat, 274 saham melemah dan 191 saham stagnan.

Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBCA) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya pada perdagangan hari ini, yakni mencapai Rp 802,9 miliar.

Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 734,8 miliar dan saham PT Astra International Tbk (ASII) di posisi ketiga sebesar Rp 701,1 miliar.

Pergerakan IHSG cenderung berlawanan dengan Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas menguat. IHSG bersama dengan indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah. Nikkei melemah 0,48%.

Sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong meroket 5,24% Shanghai Composite China melejit 2,31%, Straits Times Singapura melesat 0,95%, ASX 200 Australia bertambah 0,33%, dan KOSPI Korea Selatan melonjak 1,04%.

Tetapi, IHSG cenderung mengikuti pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan Senin kemarin, yang ditutup ambles.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,45%, S&P 500 ambrol 1,54%, dan Nasdaq Composite ambruk 1,58%.

Pengamat pasar memperkirakan lebih banyak volatilitas ke depan karena investor mencerna serangkaian data ekonomi yang akan datang akhir pekan ini, yang akan memberikan informasi lebih lanjut tentang keadaan ekonomi AS.

Rilis utama termasuk indeks pengeluaran konsumsi pribadi (personal consumption expenditure/PCE) pada Kamis dan rilis laporan penggajian AS periode November yang dijadwalkan pada Jumat mendatang.

Investor juga akan menantikan pidato dari Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell untuk mencari petunjuk tentang seperti apa kenaikan suku bunga di masa depan karena Fed terus berusaha untuk menurunkan angka inflasi.

Di lain sisi, IHSG melemah karena pelaku pasar memperhatikan kondisi di China, di mana aksi protes besar-besaran di China masih terjadi akibat kebijakan Zero Covid atau nol-Covid.

Strategi China menekan kasus Covid-19 saat ini memicu frustrasi publik. AFP menulis, bagaimana banyak warga lelah dengan penguncian cepat, karantina yang lama, dan kampanye pengujian massal.

Dari jalan-jalan di beberapa kota China hingga lusinan kampus universitas, pengunjuk rasa menunjukkan ketidaktaatan sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pemimpin Xi Jinping mengambil alih kekuasaan satu dekade lalu.

Kondisi pandemi Covid-19 yang kembali mengkhawatirkan membuat pemerintah China terus memberlakukan kebijakan nol-Covid. Per Minggu lalu, China melaporkan 40.052 kasus lokal baru Covid-19, di mana 3.748 diantaranya bergejala dan 36.304 tidak bergejala.

Alhasil, investor khawatir bahwa ketegangan tersebut akan berdampak kepada ekonomi China. Maklum saja, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, saat kerusuhan terjadi dan berdampak pada roda bisnis, maka negara lain akan terkena dampaknya.

Di lain sisi, investor di Indonesia cenderung wait and see jelang Pertemuan Tahunan Bank Indonesia. Pelaku pasar akan melihat proyeksi-proyeksi yang diberikan Bank Indonesia (BI) untuk tahun depan.

Sehari setelahnya, akan ada rilis data aktivitas sektor manufaktur dan inflasi.

Pada bulan lalu, S&P Global melaporkan purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia tumbuh 51,8 pada Oktober 2022. Meski turun cukup dalam dari bulan sebelumnya 53,7 tetapi masih berada di atas 50.

Angka di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya adalah kontraksi.

Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Indonesia pada Oktober 2022 mencapai 5,71% (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%.

Jika di pekan ini PMI manufaktur dilaporkan naik atau setidaknya masih di atas 50, dan inflasi kembali melandai, tentunya akan menjadi kabar positif bagi IHSG besok.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only