Jalan pemerintah untuk memungut pajak dari transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) lokal kini telah terbuka. Ini menyusul penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2022.
Pasal 5 PP tersebut mengatur bahwa menteri keuangan memiliki kewenangan menunjuk pihak lain melakukan pemungutan, penyetoran, dan/ atau pelaporan pajak pertambahan nilai (PPN).
Pihak lain yang dimaksud merupakan pihak yang terlibat langsung, atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi, termasuk transaksi yang dilakukan secara elektronik paling sedikit berupa pedagang, penyedia jasa, dan/atau penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Beleid itu juga menetapkan dua kategori pihak yang bisa ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Pertama, perusahaan luar negeri yang melakukan kegiatan PMSE dan menjualnya ke konsumen di Indonesia. Hal ini sudah dilakukan dengan menunjuk banyak perusahaan digital asing sebagai pemungut PPN.
Kedua, penyedia layanan digital dan fasilitator para pi- hak yang bertransaksi seperti marketplace. Hal ini akan ba- kal menambah basis wajib pajak, juga penerimaan pajak tahun depan.
Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Peraturan PPN Perda- gangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Bonarsius Sipayung bilang, PP tersebut mempertegas PMSE lokal sebagai pemungut pajak. Kebijakan itu dalam rangka penyesuaian kebijakan perpajakan seiring kemajuan transaksi digital.
Dengan penunjukkan PMSE lokal sebagai pemungut PPN, pemajakan transaksi digital diharapkan dapat berlangsung lebih efektif.
“Dengan menambah PMSE jadi pemungut pajak berarti subjek pajak bertambah, yang sebelumnya hal tersebut belum diatur,” kata Bonar kepada KONTAN, Senin (12/12).
Tim Riset MUC Tax Research Institute menjelaskan, Hitungan Tim Riset MUC Tax Research Institute, potensi, PPN yang bisa dioptimalkan Ditjen Pajak sebesar Rp 57,42 triliun. Hal ini merujuk proyeksi transaksi e-commerce yang diprediksi Bank Indonesia (BI) yang bisa mencapai Rp 522 triliun tahun ini.
Perhitungan tersebut juga dengan asumsi seluruh merchant yang berdagang di marketplace merupakan pengusaha kena pajak (PKP), barang dan jasa yang diperdagangkannya merupakan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP), serta tarif yang dikenakannya 11%.
“Tapi tidak semua penjual di marketplace merupakan PKP, jadi potensi penerimaan pajaknya bisa lebih rendah lagi dari proyeksi, ” kata Direktur Eksekutif MUC Tax Researvh Institute, Wahyu Nuryanto.
Sumber: Harian Kontan Selasa,13 Desember 2022 hal 2
Leave a Reply