Warga Negara Ini Harus Bayar Pajak Tiap Buka Media Sosial

Pemerintah Uganda menerapkan pajak bagi warganya yang mengakses media sosial. Pajak yang ditetapkan sebesar 200 shilling Uganda atau berkisar Rp 750 per hari. Aturan pajak akses media sosial tersebut berlaku sejak mulai bulan Mei lalu.

Hanya ada dua pilihan legal bagi warga Uganda, membayar pajak media sosial dengan taat atau mendapat pemblokiran akses ke seluruh situs dan aplikasi media sosial, serta platform voice call.

Presiden Uganda, Yoweri Museveni berdalih langkah ini dilakukan karena media sosial telah menjadi wadah penyebaran gosip. Istilah gosip yang disebut Museveni merujuk pada opini, praduga, dan penghinaan yang ditujukan untuk pemerintah.

Dalam suratnya ke Kementerian Keuangan Uganda, Musaveni menyebut jika pajak media sosial bisa menjadi sumber pajak negara sekaligus mengurangi utang luar negeri.

Setali tiga uang, Musaveni mendapat dukungan dari Menteri Komunikasi dan Informatika Uganda, Frank Tumwebaze yang megatakan bahwa uang pajak akan membantu pemerintah untuk lebih banyak lagi berinvestasi dalam infratruktur broadband.

Pemerintah Uganda berharap mendapat pemasukan tambahan sebesar 100 juta dollar (sekitar Rp 1,4 triliun) dari pajak media sosial. Uganda sendiri memiliki 41 juta penduduk dengan 17 juta diantaranya merupakan pengguna internet aktif.

Beberapa perusahaan telekomunikasi pun telah memasang harga khusus pajak kepada para pelanggannya. Sehingga pelanggan harus membayar lebih, yaitu harga paket kuota internet ditambah pajak media sosial.

Kepada Quartz, yang dihimpun KompasTekno, Kamis (5/7/2018), operator jaringan tidak membutuhkan teknologi baru atau bantuan eksternal untuk menerapkan sistem “pajak atau blokir” pada layanan media sosial yang “berbayar”.

Meski mudah saja menerapkan sistem “pajak atau blokir”, nyatanya kebijakan ini menimbulkan dilema bagi perusahaan penyedia layanan ISP besar di Uganda.

Di sisi lain, media sosial menjadi kunci utama konsumen pengguna data. Namun jika mereka menolak menerapkannya, maka regulator akan menjatuhkan denda dan sanksi keras.

Sementara untuk penyedia ISP kecil, agaknya tak banyak terpengaruh. Mereka cukup menaikkan harga kuota data dengan asumsi bahwa semua orang akan mengakses situs atau aplikasi media sosial berpajak setidaknya sekali dalam sehari.

Artinya, kenaikan harga data tidak hanya untuk penggunaan media sosial saja, namun penggunaan internet secara luas.

Sistem pukul rata tersebut tentu bertolak belakang dengan pernyataan Musaveni, yang meminta pajak media sosial tidak berlaku untuk penggunaan internet dengan tujuan pendidikan.

Digugat

Akibat peraturan ini, banyak warga Uganda yang mengakses media sosial secara diam-diam menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN). Hal ini dilakukan agar kegiatan bermedia sosial mereka tidak terlacak oleh pemerintah.

Selain menggunakan cara ilegal, segelintir dari mereka membuat petisi untuk menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan pajak media sosial. Lima pengguna inernet dan sebuah perusahaan teknologi telah mengajukan tuntutan hukum ke pengadilan konstitusional.

Mereka menuntut komisi komunikasi Uganda, otoritas pajak Uganda dan jaksa agung. Tuntutan utama mereka menggarisbawahi jika media sosial adalah platform utama untuk mengungkapkan ekspresi.

“Dalam kasus ini, para hakim memutuskan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi harus berdasarkan alasan yang bisa dibuktikan. Dalam hal ini pemerintah memiliki banyak alternatif untuk menghasilkan pendapatan yang tidak membatasi kebebasan,” jelas Raymond Mujuni, salah satu jurnalis televisi lokal Uganda yang ikut mengisi petisi.

Petisi tersebut juga menyantumkan keberatan atas pandangan pribadi Presiden Musaveni tentang media sosial yang menjadi landasan hukum pajak negara.

Sumber : kompas.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only