Industri Lokal Ungkit Impor Kakao

Selain produksi lokal tipis, peningkatan impor kakao juga tersundut oleh permintaan pasar lokal yang melenting

JAKARTA . Impor kakao Indonesia dalam tren meningkat. Padahal, Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Di sisi lain, selama ini Indonesia juga mengekspor kakao, walaupun pada tahun ini masih tercatat meningkat.

            Badan Pusat Statistika mencatat selama periode Januari hingga Agustus 2018, impor kakao indonesia telah mencapai 168.315 ton dengan nilai setara US$ 358,65 juta. Dibandingkan periode sama tahun lalu, volume ini naik 34% dari hanya 125,654 ton atau setara US$ 287,55 juta.

            Mayoritas impor dari Malaysia, diikuti oleh Ekuador, Pantai Gading, Kamerun, Nigeria dan negara lainnya.

            Ketua Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah mengatakan, peningkatan kakao karena produksi cokelat industri domestik miningkat. “Banyak home industry di Bali, Sulawesi, Jawa Tengah, dan Jakarta. Ada yang dari biji sendiri seperti di Palu, mereka membuat pasta oleh dinas perindustrian,” jelas Soetanto, saat dihubungi KONTAN, Kamis (27/9).

            Masalahnya, peningkatan pemerintah kakao di pasar lokal tak diimbangi produksi di dalam negeri. Indonesia memang memproduksi kakao, namun hasil kebun nasional tidak memenuhi kebutuhan industri. “Secara umum kebutuhan giling biji kakao industri sebesar 460.000 ton per tahun, dan 230.000 ton biji kakao dari impor,” ujar dia.

            Dewan Kakao menyarankan, pemerintah harus mendorong investasi dalam sektor lahan dan kebun kakao. “Dalam jangka panjang harus tingkatkan produktivitas dan lahan dalam negeri, tapi dalam jangka pendek bisa permudah jangan hambat impor biji,” kata Soetanto.

            Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Pieter Jasman menyatakan, penurunan produksi kakao domestik memang jadi sorotan. “Luas lahan kakao hanya 1,7 juta hektar, kami mendorong para gubenur yang ada di Sulawesi sebagai sentra produksi kakao untuk melakukan program revitalisasi kakao agar produktivitas meningkat. Kami juga mendorong swasta untuk berinvestasi di perkebunan kakao,”  jelas Pieter, Jumat (28/7).

            Namun, AIKI juga berharap pemerintah memperbaiki data kakao yang sering berlainan. Kementerian Pertanian meyakini produksi biji kakao tahun lalu tercatat di 688.000 ton, sedangkan pada kalkulasi AIKI hanya 260.000 ton. Lalu catatan International Cocoa Organization (ICCO) menyatakan produksi Indonesia tahun 2017 di besaran 290.000 ton.

            Data akurat sangat penting karena sangat terkait erat dengan kebijakan yang dibuat pemerintah. “Pemerintah perlu membuat metode perhitungan yang lebih akurat dan memberlakukan data amnesty agar kedepannya menjadi lebih baik,” jelas Pieter.

Pajak Impor

            Direktur Eksekutif Asosiasi Indusrti Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya menyatakan saati ini impor biji kakao terkena pajak impor sebesar 5%. Namun, komoditas ini tidak terkena kenaikan pajak seperti komoditas lux lainnya yang tertera di aturan pajak penghasilan (PPh) pasal 22.

            Semetara, sejumlah komoditas cokelat olahan terkena pajak impor. “Ini peluang bagi industri cokelat dalam negeri untuk meningkatkan pangsa pasar di lokal”,  jelas Sindra.

            Di sisi lain, dengan pelemahan rupiah saat ini seharusnya mendorong petani meningkatkan produksi kakao. Petani bisa lebih optimal mendapatkan keuntungan saat rupiah melemah.

Soetanto menyatakan harga kakao ditingkat pabrik saat ini bertahan di level Rp 32.000 per kilogram atau setara US$ 2.100 per metrik ton di pasar internasional. “Harga memang naik turun dari dulu. Sekarang petani untung,” ucap Sindra.

Sumber: Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only