Waspadai Efek Lonjakan Impor E-Commerce

Nilai impor  e-commerce  membesar dari tahun ke tahun dengan volume kecil & frekuensi tinggi

JAKARTA. Pesatnya perkembangan bisnis perdagangan ritel secara online atau e-commerce berefek positif dan negatif bagi perekonomian. Salah satu dampak positif menyebabkan penerimaan pajak dari aktivitas e-commerce meningkat. Namun, impor e-commerce juga meningkat, sehingga berpotensi menyulitkan upaya pemerintah menyehatkan neraca dagang yang sedang defisit.

Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat impor e-commerce dalam tren meningkat sejak beberapa tahun terakhir. DJBC mencatat penerimaan bea masuk maupun pajak impor barang e-commerce tahun lalu menyentuh Rp 1,19 triliun.

Jika dipukul rata, penerimaan bea masuk impor e-commerce per bulan sekitar Rp 99,2 miliar di tahun 2018. Sementara awal tahun ini, DJBC sudah membukukan penerimaan bea masuk impor e-commerce sekitar Rp 127 miliar. “Tren penerimaan dari impor e-commerce ini memang terus meningkat, terlihat pada awal tahun ini,” ujar Deni Surjantoro, Kepala Subdirektorat Jenderal Humas Bea Cukai, Selasa (12/2).

Deni melihat bahwa kenaikan penerimaan bea masuk impor e-commerce di awal tahun juga sinyal penerimaan bea impor e-commerce sepanjang tahun ini akan naik. “Memang masih awal tahun jadi belum bisa menyimpulkan. Tapi impor barang e-commerce ini bukan besar nilainya tapi frekuensinya yang sering,” lanjut Deni.

Sebagian besar jenis barang yang paling sering diimpor tersebut mencakup consumer goods, fesyen, alas kaki, serta kosmetik. DJBC tak mematok target khusus untuk penerimaan dari impor e-commerce. DJBC hanya mematok target bea masuk secara keseluruhan sebesar Rp 38,89 triliun hingga akhir tahun 2019.

Mengacu PMK Nomor 112/ PMK.04/2018 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman yang berlaku sejak Oktober 2018, impor barang e-commerce senilai di atas US$ 75 dikenakan bea masuk sebesar 7,5% dari harga barang. Aturan ini berlaku rata untuk semua jenis barang.

Importir dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) impor 10% secara flat. Kemudian, pajak penghasilan (PPh) impor 10% bagi pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Celah pajak

Meski meningkatkan penerimaan negara, pertumbuhan impor e-commerce harus diwaspadai. Pasalnya, peningkatan impor e-commerce turut menyebabkan defisit neraca perdagangan.

Tahun lalu, defisit neraca perdagangan mencapai US$ 8,57 miliar, terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebabnya lonjakan impor barang konsumsi yang juga ditopang oleh produk e-commerce.

Impor barang konsumsi mencapai US$ 17,17 miliar, naik 9,11% dari setahun sebelumnya. Impor produk e-commerce diperkirakan masih meningkat seiring pesatnya pertumbuhan bisnis e-commerce. Lembaga riset internasional Statista memperkirakan, nilai penjualan e-commerce di Indonesia tahun 2022 sebesar US$ 22,6 miliar, hampir tiga kali lipat dari tahun 2015.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo melihat peningkatan impor e-commerce mungkin terjadi dalam rangka memanfaatkan waktu sebelum aturan pajak berlaku. Mulai 1 April 2019, berlaku Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/ PMK.010/2018 tentang Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce).

Aturan ini mewajibkan pelaku e-commerce melaporkan seluruh catatan transaksinya, yang mencakup nilai pajak dari barang yang diperjualbelikan melalui platform tersebut. “Ini mungkin karena momentum itu, tapi bisa juga memang karena faktor tingginya permintaan dan konsumsi,” kata Yustinus.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only