Menolak Belenggu dalam Bermusik

Hingga Kamis (7/2) malam pukul19.00 WIB, tak kurang dari 249.000 orang menandatangani petisi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang permusikan. Petisi bertajuk #TolakRUUPermusikan ini digagas oleh Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan lewat Change.org sejak Ahad (3/2) lalu.

Melalui petisi tersebut, musisi Danilla Riyadi perwakilan koalisi, menganggap, calon beleid itu bakal memberangus dan membatasi bahkan melanggar kebebasan kreativitas musisi. Sebab, RUU Permusikan banyak memuat pasal-pasal karet yang bisa mengancam para seniman musik dengan ancaman hukum denda bahkan pidana.

Salah satu poin yang disoroti oleh Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan adalah Pasal 5 yang berisi beberapa larangan bagi para musisi. Mulai membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi, hingga membikin musik provokatif.

Aturan ini disebut pasal karet lantaran tak punya tolak ukur jelas. Apalagi, interpretasi apparat tidak selalu sama dengan pembuat lagu. Padahal di satu sisi, dalam menciptakan seni sangat butuh kreativitas.

“Pasal karet seperti ini sangat berbahaya dan menjadi pintu masuk bagi sekelompok orang penguasa atau siapapun untuk memersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai. Namun penyusun RUU Permusikan berusaha untuk menabrak logika dasar dan etika konstitusi NKRI sebagai negara demokrasi,” sebut Danilla dalam petisi #TolakRUUPermusikan yang ditujukan kepada DPR.

Jauh sebelum petisi ini muncul, sejumlah musisi lebih dulu menyuarakan penolakan atas RUU Permusikan yang merupakan inisiatif dewan.

Reni Marlinawati, Wakil Ketua Komisi X DPR yang membidangi ekonomi kreatif, membantah RUU Permusikan merupakan inisiatif Komisi X. Menurutnya,bakal undang-undang tersebut merupakan usulan Anang Hermansyah, musisi sekaligus anggota Komisi X DPR. “Bukan dari komisi,” tegasnya.

Memang, Anang punya hak mengusulkan RUU. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, anggota dewan bisa menyampaikan aspirasi dan inisiasi untuk pembentukan RUU.

Anang membenarkan, dirinya lah yang menginisiasi RUU Permusikan. “Kenapa harus undang-undang? Misalnya, tidak ada yang mengatur tata kelola permusikan secara digitalisasi secara khusus. UU Permusikan untuk melindungi sekaligus mengatur,” kata Anang dalam wawancara khusus dengan musisi Anji yang tayang di channel Youtube “Dunia Manji”.

Dengan berbentuk undang-undang, Anang menambahkan, aturan main ini bisa berumur lebih panjang. “Kalau PP (Peraturan Pemerintah), bisa dibatalkan pemerintahan terbentuk selanjutnya,” tegas dia.

Meski sebagai inisiator, Anang membantah dirinya yang merumuskan naskah akademis RUU Permusikan. “Ada Badan Legislasi DPR yang merancang dan menyusun. Aku salah satu yang diminta pendapat sebagai sumber,” ujar anggota Fraksi PAN ini.

Komisi X DPR membantah RUU tentang Permusikan merupakan usulan mereka.

Anang memastikan, RUU Permusikan yang masih berupa draf tak ujug-ujug muncul. Badan Legislatif DPR keliling guna menjaring masukan dari berbagai kalangan. Salah satunya Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.

Dan, Anang menambahkan, salah satu yang melandasi kehadiran RUU Permusikan adalah Deklarasi Konferensi Musik Indonesia di Ambon, Maluku, pada Maret lalu.

Butuh insentif Pajak

Toh tetap saja, dari kacamata banyak musisi, banyak isi RUU Permusikan yang justru merugikan seniman musik. Sebut saja, ketentuan soal distribusi karya musik yang hanya bisa dilakukan label rekaman atau penyedia jasa distribusi yang mengantongi izin usaha.

Pasal ini membatasi praktek distribusi karya musik yang selama ini dilakukan para musisi kecil dan mandiri. “Keberpihakan pasal-pasal tersebut lebih mengarah kepada industri musik skala kecil dan independent,” kata Jason Ranti, musisi independen yang turut menggagas petisi.

Jason juga menyesalkan kemunculan pasal yang mengatur uji kompetensi musisi. Baginya, aturan itu merupakan cerminan pemaksaan kehendak dan berpotensi mendiskriminasi musisi. Selama ini, lembaga sertifikasi yang ada sifatnya tidak memaksa pelaku musik, tapi hanya berupa pilihan.

“Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi tersebut berpotensi mendiskriminasi para musisi autodidak untuk tidak bisa melakukan pertunjukkan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi,” ucap Jason.

Bukan itu saja, musisi yang tidak bersertifikasi juga bakal mengalami beragam kendala ketika memulai karier di kancah musik tanah air. Apalagi, kredibilitas tim yang melakukan sertifikasi pun rentan menghadapi berbagai polemik.

Arian, vokalis band Seringai menyampaikan, tidak semua pekerja musik harus mengikuti uji kompetensi. Sebab, mereka masing-masing berbeda karakter, ada kelompok musik modern, ada juga yang tradisional.

Karena itu, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menilai, tidak ada urgensi bagi DPR dan Pemerintah untuk buru-buru membahas dan mengesahkan RUU Permusikan menjadi undang-undang. “Butuh waktu yang panjang untuk merancang undang-undang. Perlu riset dan pertemuan semua pihak yang dikaitkan dengan aturan tersebut,” imbuh Cholil Mahmud, anggota koalisi sekaligus vokalis group band Efek Rumah Kaca.

Lalu, bukan saja mengancam kebebasan musisi, RUU Permusikanjuga tumpeng tindih dengan beleid lain, seperti UU Kebudayaan dan UU Hak Cipta. “Jangan sampai tumpeng tindih,” cetus Cholil.

Kalau pun DPR dan pemerintah tetap ngotot melahirkan UU Permusikan, Choli berpendapat, seharusnya beleid itu fokus mengatur tata kelola industri musik, bukan bicara moral pelakunya atau musisinya.

Senada, Wendi Putranto, pengamat musik, mengatakan,semestinya RUU Permusikan mengatur kegiatan industri musik di tanah air, bukan pekerja di bidang musik. Contoh, bisnis label music agar tidak terjadi monopoli oleh satu atau dua perusahaan rekaman.

Kemudian, RUU Permusikan memuat ketentuan yang lebih jelas mengenai perpajakan di industri musik dalam rangka penerimaan negara. Sejauh ini, kontribusi industri musik terhadap produk domestik bruto (PDB) kita masih kecil, hanya di bawah 1%.

Kalau draf RUU Permusikan yang saat ini beredar sampai lolos, Wendi mengatakan, bakal memberikan dampak bagi industri musik dari berbagai sisi. Mulai dari musisi yang bergantung pada label, pencipta lagu, hingga promotor musik. “Maka itu sebaiknya RUU Permusikan ini dibatalkan,” ujarnya.

Anas Syahrul Alimi, promotor musik, mengakui, RUU Permusikan berpotensi mengekang kreativitas pemusik. Beberapa pasalnya membangunkan memori kelam dunia musik kita soal sensor. “Kita tak perlu mengisahkan kembali kisah Koes Bersaudara yang jadi semacam dari politik negara melarang semua yang berbau asing,” kata dia.

Frasa ngak ngik ngok selama lima dasawarsa sejak 1959 silam adalah stempel dari sensor. Dan disitu Koes menyerah dan terpaksa mendekam dalam bui. “Frasa itu mewakili politik kontrol negara atas apa yang mesti dibikin dan dipanggungkan oleh musisi,” beber Anas.

Menurut Anas, di ekosistem permusikan, musisi memerlukan kebebasan mencipta dalam rana kreativitas. Sedang pemerintah yang memegang kuasa ketertiban sosial, tak terlalu jauh masuk ke ranah itu.

Justru yang musisi harapkan dari DPR dan pemerintah melalui RUU Permusikan ialah: insentif pajak pertunjukan, perlindungan hak ciptamusisi, dan ketersediaan infrastruktur yang memadai bagi peyelenggaraan pertunjukan musik yang representatif bagi pertumbuhan ekonomi sitem ekonomi musik.

Hanya, Reni memastikan, Komisi X DPR belum memiliki rencana untuk melakukan pembahasan RUU Permusikan. Soalnya, mereka tengah sibuk membahas RUU Ekonomi Kreatif. Makanya, kata dia, RUU Permusikan bisa dilebur dalam RUU Ekonomi Kreatif. “Intinya, RUU Permusikan belum dibahas secara formal oleh anggota,” tegasnya yang mengklaim Komisi X DPR belum menerima draf RUU Permusikan.

Itu sebabnya, Reni berharap, polemik RUU Permusikan tidak semakin panas karena belum ada penggodokan sama sekali di Senayan, tempat wakil rakyat berkantor. Ia pun menjamin, kalau pun kelak Komisi X DPR menggelar pembahasan, lebih ditunjukan pada proteksi dan benefit yang bisa diambil oleh industri dan kalangan lainnya, bukan untuk penekanan. “Kami jamin, ke depan para musisitetap bisa mengembangkan kreativitas sesuai dengan keinginan mereka,” tambah Reni.

Anang mengharapkan, para pelaku musik tidak menolak RUU Permusikan. Memang, ada beberapa pasal yang ia sendiri tidak setuju. Tapi, banyak juga pasal yang bagus bagi dunia permusikan di Indonesia. Meski begitu, ia menambahkan, sangat terbuka RUU Permusikan dicoret dari daftar Progam Legislasi Nasional (Prolegnas).

Itu berarti, jalan RUU Permusikan menuju undang-undang masih panjang dan berliku.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only