Ini Penjelasan Ditjen Pajak Soal Aturan E-Commerce

 JAKARTA. Otoritas Pajak menegaskan bahwa implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.10/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik bertujuan untuk menciptakan rasa keadilan atau level playing field  antara pelaku usaha konvensional maupun pelaku usaha e-commerce.

 “Latar belakangnya dari peraturan ini adalah suatu industri yang sedang berkembang harus diatur sehingga menimbulkan level playing field yang sama. Kemudian untuk melindungi masyarakat sehingga harus diregulate,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Direktur P2 Humas Pajak) Hestu Yoga Saksama dikuti dari laman resmi Kemenkeu, Jumat (15/2/2019).

PMK 210 merupakan turunan yang lebih rinci dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019 yang mengatur masalah perijinan, masalah perpajakan, bagaimana mengembangkan, mendukung e-commerce, sekaligus memberi perlindungan kepada masyarakat.

“Dengan PMK [210] ini, sebenarnya aturan mainnya menjadi jelas. Untuk pelaku seperti apa, pelapaknya seperti apa sehingga tidak ada lagi keraguan bagi masyarakat untuk memasuki ekosistem seperti itu. PMK ini turunan dari situ [Perpres 74] yang mengatur mengenai perpajakannya.”Yoga menegaskan bahwa perlakuan perpajakan untuk e-commerce ini sama persis dengan yang konvensional.

Tidak ada yang berbeda dalam hal tarif, objek dan subjek. PMK ini hanya penegasan saja. Dia mencontohkan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu untuk UMKM yang dikenakan pajak 0,5% untuk kategori beromzet paling tinggi Rp4,8 miliar pertahun sekarang juga sudah berlaku untuk e-commerce.

Begitu pula pelaku usaha yang memasarkan lewat media sosial meskipun dengan model pengawasan yang berbeda dan tidak bisa sekaligus terpenuhi. Contoh kedua, apabila seseorang memiliki toko konvensional dan marketplace, omzet keduanya harus dijumlahkan lalu dikenakan pajak yang sama. 

Di sisi lain, perusahaan Over The Top (OTT) pun harus membayar pajak seperti Google, meskipun cara pengawasan, pembangunan awareness, cara mengenakan pajak secara efektif dan level playing fieldnya berbeda. “Ditjen Pajak sedang berupaya menjangkau semua perbedaan level playing fieldtersebut dengan belajar juga ke negara seperti Australia yang lebih dulu memiliki pengalaman,” tukasnya.

Sumber: Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only